Cahaya mulai menyinari ruangan pagi itu. Saya berbaring membelakangi jendela ruangan. Saya menggerakkan tangan ke arah atas kepala untuk meraih ponsel. Namun, hanya dinginnya lantai yang saya rasakan saat itu. Tak ada ponsel di sana. Saya mulai terjaga. Saya bergegas bangun dan mengecek seisi rumah. Pintu rumah terbuka, sementara tiga rekan masih terlelap tidur. Saya menghubungi nomor ponsel dengan menggunakan telepon rumah. “Nomor yang Anda tuju sedang tidak aktif. Cobalah beberapa saat lagi,” begitu bunyi yang terngiang di telinga.
Pagi itu, sekretariat kami baru saja dimasuki pencuri. Telepon genggam, dua buah laptop, serta sebuah kamera canon, raib. Kemungkinan peristiwa itu terjadi saat fajar mulai menampakkan diri di langit sementara kami masih terlelap dalam alunan mimpi. Ini sudah kesekian kali terjadi. Parahnya, kesemuanya disebabkan oleh hal serupa.
Sudah sekian banyak yang pernah mengalami kecurian di sekretariat kami. Sudah sekian banyak pula harta berta yang berhasil digondol si panjang tangan. Mulai dari ponsel, laptop, kamera, tas, hingga sepeda motor. Bayangkan bila semua itu diuangkan, berapa kira-kira jumlahnya?
“Kau mesti ubah pola hidupmu. Bangunlah di waktu subuh, tunaikan ibadah. Supaya tidak terulang lagi,” begitu pesan dari salah satu teman saya.
Awalnya ada rasa kesal, penyesalan, dan rasa tak terima yang bergejolak dalam diri. Saya menyesal menyimpannya sembarang tempat. Saya kesal lantaran pencuri itu mengambil barang-barang saya. Akan tetapi, sebesar apapun kekesalan, sedalam apapun penyesalan, barang itu tak mungkin kembali.
Satu hal yang mesti dilakukan, merelakan. Ya merelakan. Barangkali telepon itu adalah rezeki bagi orang lain. Setiap harta benda merupakan titipan Tuhan. Dan sewaktu-waktu Tuhan akan mengambilnya kembali.
Selain itu, beberapa teman tak henti-henti melontarkan ejekan. Mereka senantisa mengingatkan perihal ponsel dengan cara minta dipinjamkan. Padahal mereka sudah tahu, kalau ponsel itu baru saja hilang.
[caption id="attachment_378921" align="aligncenter" width="396" caption="(blog.gsmarena.com)"][/caption]
“Ari pinjam dulu hpmu belah. Mau ka main Instagram.”
"Sebentar pi nah. Kucas ki dulu," saya ikut meladeninya.
"Ngapami. Sekke sekali inie," mereka menjawab seraya tertawa lebar.
Sebenarnya, hal seperti itu jadi penawar rasa kekesalan dan penyesalan. Harta benda yang bersifat materi boleh hilang. Namun, saya masih memiliki banyak temanyang senantiasa hadir menemani. Kehadiran mereka selalu mengundang tawa. Dan tawa yang acap kali memberikan nuansa tersendiri.
“Bila jari Anda hilang satu. Maka jangan lihat jari yang hilang itu terlalu lama. Karena Anda masih memiliki sembilan jari yang lain,” Dr. Muhammad Saleh, S.Pd., M.Pd., salah satu dosen saya di kampus.
*Ari Maryadi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H