"Ulama dari kalangan madzhab Maliki, Syafi'i, dan Hambali berpendapat, wajib baginya untuk mengqadha shalat yang pernah ditinggalkan sampai ia yakin bebas dari kewajibannya berupa shalat-shalat fardhu (yang pernah ditinggalkan), dan tidak harus menentukan waktunya, tetapi cukup dengan menentukan yang diniati (shalat yang pernah ditinggalkan) seperti dzuhur atau ashar".(Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, Beirut-Dar al-Fikr, cet ke-3, 1405 H/1985 M. juz, 2, h. 143).
Sedangkan menurut Ibnu Qudamah, peng-qadla`-an terhadap shalat yang pernah ditinggalkan dilakukan sesuai kemampuan pelakunya dan jangan sampai menimbulkan masaqqah atau memberatkan terhadap badan atau hartanya. Misalnya jangan sampai membuat ia sakit, atau menyebabkan kehilangan mata pencahariannya.
"Apabila banyak sekali shalat yang ditinggalkan maka ia (orang yang meninggalkan shalat) wajib menyibukkan dirinya dengan qadla` sepanjang hal itu tidak menimbulkan masyaqqah pada badan atau hartanya. Adapun masyaqqah badannya adalah menjadi lemah fisik atau khawatir sakit. Sedang masyaqqah harta adalah ia terhenti dari men[1]tasharruf-kan hartanya sekiranya ia terputus mata pencariannya". (Ibnu Qudamah al[1]Maqdisi, al-Mughni, Bairut-Dar al-Fikr, cet ke-1, 1405 H, juz, 1, h. 681)
Dari kedua pendapat yang telah dijelaskan tadi, maka dalam kedua pandangan pendapat tersebut yang kedua terasa lebih mudah untuk dilakukan. Sebab, untuk menentukan waktu bukanlah perkara yang mudah karena biasanya orang lupa kapan waktu awal atau akhir meninggalkan shalat.
Namun dalam kasus ini juga sebenarnya ada pilihan pendapat yang ketiga yang dikemukakan oleh para ulama seperti Ibnu Taimiyyah. Menurutnya, orang yang meninggalkan shalat dengan sengaja tidak disyariatkan untuk meng-qadla' shalat yang pernah ditinggalkan karenanya qadha-nya tidak sah. Tetapi sebaiknya ia memperbanyak shalat dan puasa sunnah.
"Orang yang meninggalkan shalat dengan sengaja itu tidak disyariatkan untuk meng[1]qadla` shalat yang telah ia tinggalkan dan tidak sah pula qadla`-nya, tetapi sebaiknya ia memperbanyak shalat sunnah begitu juga memperbanyak puasa. Demikian ini adalah pandangan sekelompok dari para ulama salaf seperti Abi Abdirrahman seorang pengikut setia Imam Syafii dan Imam Dawud azh-Zhahiri beserta para pengikutnya. Dalam hal ini tidak ada satupun dalil yang bertentangan dengan pandangan ini". (Ibnu Taimiyyah, al-Fatawa al-Kubra, Beirut-Dar al-Kutub al-'Ilmiyyah, cet ke-1, 1408 H/1987 M, juz, 5, h. 320)
Pandangan Ibnu Taimiyah ini pada dasarnya bukanlah pandangan yang baru sebagaimana pengakuannya sendiri. Tetapi sudah dikemukakan oleh para ulama terdahulu seperti Imam Dawud azh-Zhahiri yang pandangannya fiqh didokumentasikan oleh muridnya yaitu Ibnu Hazm.
Dalam kasus ini Ibnu Hazm lebih lanjut menyatakan bahwa orang tersebut sebaiknya memperbanyak perbuatan baik, shalat sunnah untuk memperberat timbangan amal kebaikannya kelak pada hari kiamat, taubat, dan istighfar.
"Adapun orang yang dengan sengaja meninggalkan shalat sampai keluar waktunya, maka ia selamanya ia tidak akan mampu meng-qadla`-nya selamanya. Karenanya, sebaiknya ia memperbanyak perbuatan baik dan shalat sunnah agar timbangan kebaikannya kelak pada hari kiamat menjadi berat, taubat, dan meminta ampun kepada Allah 'azza wajalla". (lihat as-Sayyid as-Sabiq, Fiqh as-Sunnah, Kairo-Fath al-I'lam al-'Arabi, juz, 1, h. 196)
Dari penjelasan diatas setidaknya dapat ditarik kesimpulan bahwa orang yang meninggalkan shalat secara sengaja selama bertahun-tahun sampai ia tidak ingat berapa jumlah shalat yang pernah ditinggalkan maka ia harus meng-qadla` shalat menurut pendapat mayoritas ulama dan tidak ada kafarat baginya.
Namun dengan mengacu kepada pandangan Ibnu Qudamah, maka qadla' tersebut dilakukan sesuai dengan kemampuannya. Di samping itu juga orang tersebut agar memperbanyak kebajikan, shalat sunnah, bertaubat, dan memperbanyak istighfar. Demikian penjelasan yang dapat kami sampaikan, semoga bermanfaat.