Mohon tunggu...
Ari Manangin
Ari Manangin Mohon Tunggu... Editor - Penulis Ulung

Catatan Pena, dari Bumi Nusantara North Celebes

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Patah Hati Guru Penjaskes (Bagian 1)

19 Maret 2024   14:19 Diperbarui: 19 Maret 2024   14:31 60
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hari ini, di balik senyum yang kucurahkan pada siswa-siswa yang bersemangat di lapangan, ada sepotong hatiku yang remuk. Bagaimana tidak, setelah bertahun-tahun mengabdikan diri pada profesi ini, di mana saya merasa begitu bersemangat menginspirasi dan memotivasi generasi muda, kini aku harus menghadapi patah hati yang tak terduga.

Pukul 14.30 sore tadi, setelah kami selesai berlatih untuk pertandingan sepak bola antar-sekolah yang akan datang, saya diundang ke ruang kepala sekolah. Dengan suara gemetar, beliau memberitahu saya bahwa untuk program latihan sepak bola di sekolah kami telah di hapus. Itu artinya, posisi saya sebagai pelatih sepak bola di sekolah ini akan dihapus.

Tak terbayangkan bagaimana rasanya mendengar kabar itu. Rasanya seperti sepotong langit biru yang tiba-tiba ditutupi oleh awan kelabu. Semua mimpi, harapan, dan dedikasi yang telah saya tanamkan dalam melatih anak-anak untuk mencapai potensi terbaik mereka, seakan-akan dihempas begitu saja oleh keputusan.

Saya memang tahu bahwa dalam dunia pendidikan, perubahan bisa terjadi kapan saja. Tapi entah mengapa, saya merasa begitu terpukul kali ini. Rasanya seperti kehilangan sebagian besar dari diri saya. Bagaimana saya bisa melanjutkan hidup tanpa menjadi bagian dari dunia olahraga yang begitu saya cintai?

Pikiran-pikiran itu menghantui saya saat saya meninggalkan ruang kepala sekolah. Saya mencoba menyembunyikan kekecewaan dan rasa takut saya di depan siswa-siswa saya. Tapi entah mengapa, mata mereka seperti bisa merasakan kegalauan yang saya alami.

Hari ini, di ruang kosong yang biasanya dipenuhi tawa ceria dan gerak lincah anak-anak, aku duduk sendiri dengan pandangan kosong menatap dinding. Suara gemuruh yang biasanya mengisi ruangan itu telah hilang, digantikan oleh keheningan yang menusuk hati.

Sekarang, di rumah, saya duduk di depan komputer dan menulis ini. Ini adalah upaya saya untuk mencari pemahaman, mungkin sedikit penghiburan, dalam situasi yang kini menghantui hidup saya.

Saya tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya. Yang saya tahu hanya satu hal: cinta dan dedikasi saya pada olahraga dan pendidikan tidak akan pernah padam. Meskipun mungkin langkah selanjutnya belum jelas, saya harus tetap percaya bahwa ada cahaya di ujung jalan. Dan saya harus bertahan untuk menemukannya.

Demikianlah, inilah catatan patah hati seorang guru penjaskes, bagian pertama dari perjalanan yang penuh dengan ketidakpastian dan harapan. Semoga suatu hari nanti, saya bisa menuliskan bagian kedua dengan cerita yang lebih cerah dan penuh inspirasi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun