Mohon tunggu...
Aril Pratama
Aril Pratama Mohon Tunggu... -

psychology

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Konflik Eksistensi Manusia J.P. Sartre

18 Desember 2013   08:58 Diperbarui: 24 Juni 2015   03:48 456
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Riwayat

Jean-Paul Sartre lahir di Paris pada tanggal 21 Juni 1905. Ayahnya perwira angkatan laut Perancis dan ibunya, Anne Marie Schweitzer. Ayahnya meninggal dua tahun sesudah kelahiran Sartre. Setelah ayahnya meninggal, ibunya dan Sartre kembali ke rumah ayahnya, Charles Schweitzer, seorang guru bahasa Jerman, di Meudon. Dalam bukunya Les Mots (Kata-Kata), 1964, Sartre mengungkapkan bahwa sejak usia dua belas tahun ia sama sekali tidak percaya lagi akan adanya Allah, meskipun Sartre dibaptis dan dibesarkan secara Katolik. Kesusastraan menjadi agama baru bagi dia. Dunia kecil Sartre adalah perpustakaan kakeknya. Sartre bercita-cita bisa menjadi seorang pengarang yang besar. Pada tahun 1924, ia masuk di Ecole Normale Superieure, yakni perguruan tinggi paling terkemuka di Perancis. Pada tahun 1929, ia berhasil meraih Agregation de Philosophie sebagai nomor satu. Sartre banyak menulis karya sastra seperti La Nausee (Muak), 1938, Les Mouches (Lalat-lalat), 1943, Huis Clos (Pintu-pintu tertutup), 1944, Roman Les Chemins de la leberte (Jalan-jalan kebebasan), 1945-1949, L’Existentialisme est un humanisme (1946), Critique de la raison dialectique,(1960). Sartre meninggal dunia pada tanggal 15 April 1980.

Pemikiran Jean-Paul Sartre

Sartre sejak kecil hidup dalam lingkungan religius. Tetapi, justru kebalikannya ia anti dengan agama dan Tuhan. Dia mengembangkan filsafatnya dengan corak ateis. Corak filsafat Sartre dipengaruhi oleh Rasionalisme dan Idealisme, yakni dari Descartes, Kant, Hegel sampai fenomenologi Husserl serta Martin Heidegger. Filsuf-filsuf tersebut sangat penting nilainya bagi Sartre, namun dalam tulisannya, ia kerap melontarkan kritik-kritik terhadap mereka. Husserl, Heidegger dan Hegel mempunyai peran penting dalam karya utama Sartre, yakni ‘Being and Nothingness’, yang berusaha memahami eksistensi manusia

Sartre membangun gagasan filsafatnya tahap demi tahap. Tahap pertama, gagasannya mengandung corak pemikiran fenemenologi yang dikaitkan dengan psikologi dan dipengaruhi oleh gagasan Husserl dan Heidegger. Misal, karyanya tentang L’Imagination (1936). Dalam karya tersebut, Sartre secara penuh berhubungan dengan Husserl tentang analisa terhadap kesadaran. Sartre menerangkan perbedaan antara persepsi dan kesadaran dengan menggunakan filsafat Husserl mengenai kesadaran intensional. Tahap kedua, terbit karya utamanya Being and Nothingness (1943). Dalam karya ini, Sartre menggunakan analisa Heidegger tentang ‘Dasein’ untuk memperkenalkan kesadaran manusia. Dalam tahap ketiga, terdapat perubahan dalam pandangan Sartre. Ia condong ke Marxisme. Dalam tahap ini, karyanya yang penting adalah Critique de la raison dialectique (1960). Ia mengkritik dialektika Marx, bahwa Marxisme perlu belajar kepada eksistensialisme agar dapat memandang individu sebagai kebabasan

Mengenai Eksistensialisme

Eksistensialisme mendasarkan diri pada konsep-konsep dan prinsip-prinsip fenomenologi. Fokus eksistensialisme adalah eksplorasi kehidupan dunia makhluk sadar. Eksistensialisme menyatakan bahwa aku ini bukan apa-apa selain eksistensi sadarku sendiri. Eksistensialisme memusatkan perhatian pada subjek dan menandaskan pentingnya keterlibatan subjek dalam pengalaman manusia.Eksistensialisme Sartre terungkap dalam pernyataan bahwa eksistensi mendahului esensi. Artinya, menekankan eksistensiku sebagai subjek berkesadaran, bukan mengutamakan esensi yang berlaku pada diriku, seperti definisi mengenai aku dan segala penjelasan mengenai aku melalui berbagai ilmu pengetahuan. Dengan demikian, eksistensialisme menggarap persoalan mengenai manusia konkret, lokal dan bukan manusia abstrak, konseptual atau pun universal.

Sartre menyatakan bahwa terdapat Ada yang transenden. Sartre menunjukkan Ada dalam dua bentuk, yaitu etre-en-soi (being-in-itself; ada-pada-dirinya) dan etre-pour-soi (being-for-itself; ada-bagi-dirinya).

Etre-en-soi (being-in-itself) identik dengan dirinya. Etre-en-soi tidak aktif, tidak pasif, tidak afirmatif, dan tidak negatif. Etre-en-soi tidak mempunyai masa silam, masa depan, tidak mempunyai kemungkinan atau pun tujuan. Etre-en-soi sama sekali kontingen, artinya ada begitu saja, tanpa fundamen, tanpa diciptakan, tanpa dapat diturunkan dari sesuatu yang lain. Etre-en-soi disebut sebagai Ada yang tidak sadar (non-conscious-being) sehingga ia tidak mampu memberi makna pada eksistensinya. Etre-en-soi adalah benda-benda, objek yang memiliki kesatuan dengan dirinya sendiri.

Etre-pour-soi (being-for-itself) bukanlah benda dan berbeda secara radikal dengan etre-en-soi. Etre-pour-soi memiliki ciri khas negativitas. Menurut etre-pour-soi, kesadaran berarti suatu jarak, distansi, non-identitas. Etre-pour-soi adalah Ada yang berkesadaran. Bagi Sartre, manusia adalah makhluk yang membawa ‘ketiadaan’. Aktivitas etre-pour-soi adalah ‘menidak’ apa yang ada. Sartre menyimpulkan bahwa ‘ketiadaan’ muncul dengan ‘menidak’ dunia.

Jika dibandingkan kedua cara berada tersebut, etre-en-soi sama sekali tidak mempunyai relasi dengan etre-pour-soi. Sedangkan, etre-pour-soi mempunyai relasi dengan etre-en soi, yaitu menidak etre-en-soi. Etre-pour-soi mempunyai keinginan untuk berada sebagai etre-en-soi, yakni mempunyai identitas dan kepenuhan Ada.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun