"Saat demokrasi semakin bebas, maka kebebasan berpendapat terbuka sebebas bebasnya, disaat itulah politik kita di pertontonkan oleh berbagai permainan, intrik dan distorsi,"
Masyarakat Indonesia kembali akan menghadapi pesta demokrasi secara serentak di tahun 2024. Tentu itu merupakan momentum terbaik untuk menentukan nasib bangsa dimasa depan. Pergantian pemimpin diharapkan mampu memberikan warna baru dalam perjalan politik, perjalanan pembangunan maupun perjalan demokrasi Indonesia.
Selain itu pesta demokrasi 2024 juga adalah momen yang paling ditunggu oleh masyarakat, pegiat politik, pejuang demokrasi dan seluruh stakehloders yang mengharapkan pimpinan baru dimasing-masing daerahnya. Ini juga menjadi sebuah harapan baru bagi masyarakat melalui tawaran-tawaran program menarik dari masing-masig kandidat.
Bargaining itulah yang kemudian menjadi sebuah stategi untuk menggalang dukungan dengan tujuan memenangkan pertarungan politik. Bagi sebahagian elit politik tak hanya program yang menjadi daya tarik tapi bargaining posisition yang menjadi komitmen antara calon pemimpin dan konstituennya. Juga tak sedikit orang yang mencari panggung popularitas melalui momentum ini.
Namun dalam prosesnya, setiap menghadapi pesta demokrasi kita selalu dipertontonkan dengan hal-hal yang sangat dangkal dan tidak esensial dalam dunia politik Indonesia. Tidak sedikit dari mereka terjebak dalam ruang-ruang dialektika yang tidak produktif karena fanatisme politik yang mereka anut.
Diskriminasi sistemik terjadi yang mana meniadakan atau mengecilkan peran seseorang dimasyarakat karena perbedaan latar belakang kepentingan, pilihan dan golongan dalam masyarakat. Upaya ini selalu terjadi bahkan telah mengakar pada kultur dan sistem perpolitikan Indonesia, sehingga tidak dilihat sebagai suatu tindakan yang bodoh namun sebagai tindakan yang wajar dilakukan.
Dalam realitas ini anak muda mesti hadir sebagai pioner demokrasi yang santun dan berkarakter, tidak malah memperkeruh kondisi politik yang dangkal. Ada banyak fenomena politik yang banal yang sedang kita saksikan seperti black campaign, hoax dan money politik. Semua itu adalah lumrah dilakukan karena telah mengakar dan menjadi budaya. Oleh karena itu, memberikan pendidikan politik kepada masyarakat adalah tanggung jawab anak muda sebagai generasi bangsa dalam mewujudkan demokrasi yang sehat.
Banalitas Politik Melalui Black Campaign, Hoax dan Money Politik
Dalam beberapa kasus menjelang pemilu legislatif maupun eksekutif praktik black campaign, penyebaran hoax dan money politik kerap terjadi. Hal ini tentu menunjukan tingkat ketidak percayaan diri yang tinggi. Black campaign dan penyebaran hoax kerap dilakukan sekelompok orang melalui fake accounts dan media online catering. Praktik money politic kadang menjelma menjadi bagi-bagi kue kepada masyarakat. Framing atas money politic yang gagal ini cukup memprihatinkan. Pasalnya upaya-upaya seperti itu sangat tidak mendidik.
Barter antara kue dan suara yang dipertontonkan tokoh politik ini menunjukan  gambaran wajah perpolitikan yang sangat sporadic dan sectarian serta sangat anomali dari nilai-nilai demokrasi yang telah dibangun beberapa tahun lalu. Segelintir menganggap bahwa dominasi black campaign, penyebaran hoax dan money politic adalah strategi untuk memenangkan pertarungan politik.
Atas fenomena tersebut seolah kita telah menguatkan tesis yang mengatakan bahwa salah satu gejala paling menonjol digenerasi millennial dan Generasi Z ini (generasi digital) adalah meningkatnya individualisme. Sikap saling tidak menghargai dan pengahancuran aturan yang dibangun oleh budaya individualisme membuat kita semakin picik. Pasalnya hanya menyisakan satu aturan yakni menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan pribadi.