Jadi bagaimana mungkin kaum rasional itu bisa jatuh hati kepada Mulyadi jika rekam jejaknya justru negatif semua?
Inilah alasannya kenapa hasil survei Poltracking ini begitu sulit dipercaya. Selain karena hasilnya tidak masuk akal, netralitas mereka juga disangsikan lantaran bermain 'dua kaki', sebagai pollster dan campaigner. Bukan tidak mungkin mereka akan menjadi alat kampanye untuk menggiring opini atau membangun kesadaran palsu di ruang publik.
Pada Pilkada 2020 ini, integritas Poltracking memang dipertanyakan. Selain di Sumbar, kinerja pollster ini juga digugat di Pilkada Sulawesi Tengah dan Pilkada Surabaya. Di dua daerah itu survei Poltracking dianggap tidak masuk akal, bahkan terkesan abal-abal. Mereka dituduh merekayasa hasil survei untuk mengangkat citra kandidat tertentu.
Sekarang ini, banyak pollster yang beralih fungsi dari lembaga profesional menjadi tim pemenangan politik. Mereka ikut berperan mempengaruhi pemilih. Mengaku sebagai lembaga profesional, sementara perilaku mereka tidak ubahnya seperti organisasi sayap dari partai politik.
Begitulah jika intelektual telah tergadai imbalan yang menggiurkan, tidak akan ada lagi kebenaran yang konsisten keluar dari mulutnya. Juga tidak ada aib yang dikutuk secara konsisten pula. Ketika cendekiawan sudah pailit berpikir, nurani mereka binasa karena tergoda harta, maka negara ini akan berada di ambang kehancuran.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H