Tantangan Perempuan Dalam Kepemimpinan
Pendahuluan
   Kepemimpinan perempuan secara normatif memiliki legitimasi yang kuat dari segi teologis, filosofis, dan hukum. Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, yang disetujui oleh negara-negara anggota PBB, termasuk Indonesia, mencakup berbagai pasal yang memberikan hak kepada perempuan untuk memilih dan dipilih sebagai pemimpin. Demikian pula, Konvensi tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan, yang diundangkan melalui UU RI Nomor 7 Tahun 1984, serta Deklarasi Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan, menjamin perlindungan perempuan dari segala bentuk diskriminasi. UU RI Nomor 39 Tahun 1999 mengenai Hak Asasi Manusia juga memastikan keterwakilan perempuan dalam lembaga legislatif, eksekutif, dan yudikatif (pasal 46). Selain itu, Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 2000 menegaskan bahwa semua kebijakan dan program pembangunan nasional harus dirancang dengan memperhatikan perspektif gender.(Doe, 2008)
Pembahasan
  Budaya masyarakat yang berasal dari tradisi telah diwariskan secara turun-temurun, menempatkan perempuan pada peran domestik dan laki-laki di ranah publik. Hal ini menyebabkan akses dan partisipasi perempuan dalam politik sangat rendah. Akibatnya, wajar jika dunia politik masih didominasi oleh patriarki, dengan laki-laki yang menguasai arena politik, termasuk dalam penyusunan aturan dan standar yang merugikan kepentingan perempuan. Perempuan yang terlibat dalam politik seringkali harus menghadapi kenyataan diperlakukan sebagai kelompok minoritas, serta menghadapi banyak undang-undang dan kebijakan yang tidak mempertimbangkan perspektif perempuan.(Doe, 2008)
   Perempuan menghadapi banyak hambatan dalam dunia politik, dan seringkali kendala kultural menjadi penghalang dalam proses pemilihan, seperti yang terjadi pada terpilihnya Kepala Desa perempuan di Desa Ciakar, Kabupaten Ciamis. Diperlukan waktu yang lama untuk mengubah pandangan yang menganggap perempuan tidak layak menjadi pemimpin. Untuk itu, dibutuhkan agen perubahan yang dapat mengubah perspektif masyarakat terhadap perempuan di ranah publik, terutama dalam politik sebagai pemimpin di tingkat desa. Agen perubahan ini meliputi perempuan yang mencalonkan diri sebagai Kepala Desa, serta Kyai dan Ajengan setempat yang memiliki pengaruh untuk secara bertahap dan perlahan mengubah pandangan masyarakat.(Sulastri, 2020)
  Hambatan yang dihadapi perempuan untuk menjadi anggota legislatif dapat dibagi menjadi dua kategori: yang berasal dari luar diri perempuan dan dari dalam diri mereka sendiri. Dari segi eksternal, hambatan pertama adalah adanya konstruksi sosial yang masih mempertahankan pemisahan antara ranah domestik dan publik. Perempuan masih dianggap seharusnya berada di ranah domestik, sedangkan politik dianggap sebagai wilayah publik yang didominasi oleh laki-laki. Akibatnya, perempuan yang terlibat di ranah publik sering kali mengalami keterbatasan dalam ruang gerak mereka.(Sulastri, 2020)
   Perempuan perlu berpartisipasi dalam politik karena mereka memiliki kebutuhan khusus yang paling baik dipahami oleh diri mereka sendiri. Kebutuhan ini meliputi isu-isu kesehatan reproduksi, seperti akses informasi dan layanan kesehatan reproduksi, terutama selama kehamilan dan persalinan. Selain itu, karena perbedaan organ reproduksi, perempuan mengalami menstruasi, sesuatu yang tidak dialami oleh laki-laki, sehingga mereka memiliki kebutuhan yang berbeda terkait hal ini. Isu-isu ini dianggap hanya bisa diangkat jika perempuan yang terlibat dapat berbicara bebas tanpa takut akan konsekuensi.(Umagapi, 2020)
  Â
Kesimpulan dan saran
pemimpin perempuan maupun pemimpin laki-laki dalam organisasi pemerintah ini sama-sama memiliki kepemimpinan yang efektif. Yang berbeda hanyalah cara keempat pemimpin ini dalam mencapai kepemimpinan yang efektif tersebut. Apa yang ditemukan oleh penelitian ini memiliki kesamaan dengan penelitian sebelumnya yang menyebutkan bahwa pemimpin perempuan tidak kalah dengan pemimpin laki-laki dalam hal efektivitas kepemimpinan.(Putranto & Perdhana, t.t.)