Mohon tunggu...
Ari Kristanto
Ari Kristanto Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wirausaha

Belajar Menulis

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Gugatan Pra Peradilan Atas SP3 Kasus Diskriminasi Siswa di YIS, Ini Kasus Pidana Ke-2

15 Agustus 2021   17:13 Diperbarui: 15 Agustus 2021   18:27 414
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sekolah bertaraf internasional di Yogyakarta, YIS, kembali tersandung masalah. Ini masalah pidana kedua yang membelit YIS, dengan pihak penggugat yang sama, dengan perkara pidana yang pertama.

Gugatan praperadilan sudah dilayangkan oleh salah satu mantan orang tua murid di sekolah tersebut, pada tanggal 13 Agustus 2021. Materi gugatan adalah menggugat surat SP3 yang dikeluarkan Kepolisian Resort Sleman, tanggal 23 April 2021, atas laporan kasus diskriminasi terhadap anak.

Melalui kantor hukum AFKAR & PARTNER, yang berkedudukan di Ngaglik Sleman, gugatan praperadilan tersebut telah didaftarkan ke Pengadilan Negeri Sleman dengan nomor perkara no.3/Pdt.Pra/2021/PN.SLM .

Laporan dugaan tindak pidana diskriminasi terhadap anak yang akhirnya di SP3 oleh Polres Sleman, dilayangkan sendiri oleh pihak penggugat pada tanggal 31 Agustus 2018. Atau sekitar 30 hari setelah pihak penggugat melaporkan kasus pidana yang pertama.

Pelaporan dugaan diskriminasi terhadap anak tersebut, didasarkan pada perlakuan YIS yang mengeluarkan anak pihak penggugat dari sekolah YIS secara sewenang-wenang. Modusnya adalah syarat pendaftaran ulang untuk tetap menjadi murid di YIS ditolak.

Gugatan praperadilan atas perkara yang kedua ini, ditujukan untuk menggugat Kapolri cq Kapolda DIY cq Kapolres Sleman, atas keputusan diterbitkannya SP3 terhadap penyidikan dugaan tindak pidana diskriminasi terhadap anak, yang dikeluarkan oleh Polres Sleman tanggal 23 April 2021, sebagaimana disebut dalam alenia ke dua diatas.

Pihak pelapor atau penggugat memandang penerbitan SP3 oleh Polres Sleman tidak memiliki dasar hukum atau cacat hukum.

Yang menjadi janggal dari diterbitkannya SP3 diatas adalah penyidikan dihentikan saat perkara sudah memasuki proses pemberkasan tahap I oleh Kejaksaan.

Padahal berdasarkan peraturan, jika sebuah perkara pidana sudah dilakukan penetapan status "tersangka", dan dalam proses pemberkasan tahap I di Kejaksaan, itu artinya unsur pidana dari sebuah perkara yang diajukan sudah terpenuhi.

Pasal 25 Keputusan Kapolri No.6 tahun 2019 tentang Penyidikan Tindak Pidana, yang mengikat seluruh jajaran kepolisian, menyebutkan bahwa :

(1) Penetapan tersangka berdasarkan paling sedikit 2 (dua) alat bukti yang didukung barang bukti.

(2) Penetapan tersangka sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilaksanakan melalui mekanisme gelar perkara, kecuali tertangkap tangan.

Dalam ayat 1 dan 2 Pasal 25 tersebut di atas, pelaporan pihak penggugat sudah memenuhi semua unsur dengan baik . Pihak kejaksaanpun mengakui bahwa perkara yang dilaporkan telah memenuhi unsur pidana, meskipun unsur "setiap orang" yang dimaksud dalam perkara tersebut belum terpenuhi.

Belum terpenuhinya unsur "setiap orang" disebabkan perkara merujuk Pasal 76A Undang-Undang Perlindungan Anak, yang berbunyi :

"setiap orang dilarang : (1) Memperlakukan anak secara diskriminatif yang mengakibatkan anak mengalami kerugian baik materiil maupun moril sehingga menghambat fungsi sosialnya.

Namun demikian, pendapat dari Kejaksaan bahwa unsur "setiap orang" belum terpenuhi, bukan berarti meniadakan unsur pidana. Kejaksaan hanya menilai bahwa penetapan orang yang di-tersangka-kan kurang tepat. Sehingga tugas kepolisian atau penyidik bukan lantas menghentikan penyidikan, tetapi melakukan pendalaman untuk menemukan pihak yang lebih tepat untuk dijadikan tersangka.

Keputusan Polres Sleman menerbitkan SP3, dapat dikatakan menghalangi warga negara dalam memperoleh keadilan dan kepastian hukum atas peristiwa yang menempatkan anak dari pihak penggugat sebagai korban atas kesewenangan yang dilakukan YIS.

Sebagai salah satu unsur penegak hukum, tampaknya kepolisian kurang peduli terhadap kesalahan yang dilakukan oleh sebuah lembaga penyelenggara pendidikan.

Padahal kemajuan bangsa dan negara, adalah hasil dari sistem pendidikan yang baik, yang mengajarkan nilai-nilai kejujuran, etika dan norma serta moral yang bermartabat.

Bagaimana mengajarkan itu semua, jika anak didik kita disuguhkan dengan hal-hal-hal yang bertentangan dengan moral dan etika?

Hukum dengan segala peraturan dan orang-orang yang terlibat didalamnya, mempunyai pengaruh dengan spketrum yang sangat luas dan kompleks terhadap bidang kehidupan lainnya.

Menegakkan hukum berdasarkan kebenaran dan keadilan yang seutuhnya, berarti ikut serta menegakkan dan memastikan bidang kehidupan lain berjalan baik dan benar. Begitu pula sebaliknya, mempermainkan hukum berdasarkan keserakahan, jelas akan menciptakan daya rusak yang luar biasa terhadap banyak sendi kehidupan di dalam masyarakat dan negara.

Hukum identik dengan pendidikan, cara pandang, rasa keadilan, rasa kebenaran, rasa kejujuran, juga tentang etika, norma dan moral.

Maka memperjuangkan hukum adalah tugas kita bersama. Terlebih dalam kasus ini, yang diperjuangkan adalah tentang anak dan pendidikan anak dalam sebuah lembaga pendidikan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun