Mohon tunggu...
Arik Gustian
Arik Gustian Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Sejarah

Hallo semuanya, kenalin, saya adalah ex-mahasiswa sejarah Universitas Padjadajaran yang memiliki minat lebih terhadap sepak bola, dan apapun yang bernada sastra.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Goresan Tinta Pengubah Cerita

21 Januari 2023   11:32 Diperbarui: 21 Januari 2023   16:03 625
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hari sudah menjelang larut malam, tapi mata sepertinya masih sangat enggan untuk ditutup. Momen seperti ini memang sering aku rasakan, walaupun sejak pagi bersinar hingga gelap menutupi langit kegiatan tak kunjung usai, mata tetap bersikeras ingin terbuka dilarut malam. Berada pada momen seperti ini,  memaksakan kehendak untuk tidur sepertinya hanya akan mengundang rasa pusing untuk bersarang di dalam kepala. Maka dari itu, biasanya aku membuka gawaiku untuk menunggu datangnya rasa kantuk, entah dengan bermain mobile legend 1-2 match atau sekedar baca-baca apa yang tersaji di media sosial. Saat sedang membaca berita di internet, tanpa sengaja aku menemukan surat cinta Bung Karno buat salah satu istrinya, Yuri Sanger.

Membaca surat cinta itu, sepertinya malah mengusir jauh-jauh rasa kantuk di dalam kepala ini. Sehabis membacanya, memori dalam kepala sontak bertamasya jauh ketika aku masih berseragam putih-merah. Waktu itu media komunikasi elektronik memang sudah tersedia walaupun hanya sebatas kirim sms dan telpon, ~belum ada tuh, BBM, WA, IG, atau media elektronik lain yang memudahkan kita pansos ke si dia~ namun menulis dan mengirim surat masih menjadi cara yang menyenangkan bagi anak sekolah awal 2000-an untuk menyampaikan cintanya. Pada waktu berseragam merah-putih mengirimkan surat tentu saja tidak usah repot-repot membubuhkan perangko 3000, atau menggunakan jasa kantor pos.  Cukup dengan pulang terlambat dan menyimpan surat itu di kolong meja sang pujaan hati, esoknya sudah dapat dipastikan surat itu mendarat tepat di kedua tangan yang sangat ingin kugenggam.

Ya, walaupun hanya "cinta monyet", tapi goresan tinta yang berada dalam amplop itu selalu berhasil mendebarkan jantungku. Terkadang, saat menunggu surat balasan dari sang pujaan hati, rasanya seperti seorang Yahudi di tahun 1940 yang harap-harap cemas menunggu surat dari Mendes agar mereka bisa terbebas dari kejaran tank-tank Nazi yang siap untuk membumi hanguskan apapun yang menjadi kehendak si pengendara. Agaknya memang terlalu lebay untuk membandingkan goresan tinta cinta anak sekolah dengan goresan tinta cinta yang bisa menyelamatkan nyawa puluhan orang. Namun, saat surat cinta itu berbalas, percayalah kekuatan cinta yang berbalas bisa membuat rasa bahagianya kayak bangsa Yahudi yang beruntung mendapat surat dari Mendes.

Bergeser sedikit dari perihal cinta, goresan tinta juga dapat berakibat pada tragedi kemanusiaan. Sebut saja bencana kelaparan yang membunuh puluhan juta nyawa anak manusia sepanjang tahun 1958-1960 akibat program ekonomi "Great Leap Forward" atau biasa dikenal juga dengan gerakan lompat jauh kedepan. Program ini dilakukan oleh Negara China pada era kepemimpinan Mao Zedong. Ketidakmampuan para pejabat di China dalam mencapai surplus pangan yang dicanangkan dalam program tersebut, memaksa mereka untuk memalsukan catatan mengenai stok pangan agar bisa selamat dari murkanya sang pemimpin. Melihat catatan yang ada, Mao memutuskan untuk menjual jutaan ton beras ke negara-negara lain, karena mengira ketersediaan pangan dalam negeri masih sangat mencukupi. Akibatnya rakyat China kekurangan stok pangan dan berujung pada bencana kelaparan terbesar di abad ke-20.

Selain itu, masih banyak lagi riuh-rendah terjadi dalam sejarah peradaban umat manusia yang dipicu oleh sebuah goresan tinta. Pada akhirnya, dengan goresan tinta jutaan umat manusia bisa terselamatkan dari keadaan yang mendesaknya. Namun, disisi lain, goresan tinta pun bisa melenyapkan jutaan nyawa manusia dalam sekejap pandang.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun