hukum memiliki peran strategis dalam menentukan kualitas penegakan hukum di sebuah negara. Di Indonesia, kinerja para penegak hukum sering kali dianggap kurang memuaskan. Berbagai kasus korupsi di tanah air, justru melibatkan kelindan hakim, jaksa, serta polisi.
PenegakPameo hukum tajam ke bawah serta tumpul ke atas  kerap disuarakan publik yang tidak puas dengan kasus-kasus hukum yang terjadi. Ketidakpuasan masyarakat ini menjadi pertanda lemahnya penegakan hukum di Indonesia. Hukum yang dianggap sebagai cara untuk mencari keadilan bagi masyarakat malah memberikan rasa ketidakadilan dan mengecewakan.
Â
Survei Litbang Kompas di Mei 2023 (Kompas.tv, 22 Mei 2023) menemukan penegakkan hukum masih menjadi bidang yang nilai kepuasan publiknya paling rendah. Tingkat apresiasi publik terhadap kinerja penegakan hukum berada di posisi keempat terendah yaitu sebesar 59 persen. Disusul bidang ekonomi (59,5 persen), politik dan keamanan (74,4 persen), dan kesejahteraan sosial (78 persen).
Dalam Diskusi Publik bertema "Perlindungan Hak Warga Dari Kesewenang-wenangan Negara: Membedah Konstruksi  Peraturan Presiden Nomor 28 Tahun 2022 dari Aspek Hukum" di Malang, Jawa Timur (Senin, 14 Agustus 2023), Pakar Administrasi Negara dari Universitas Brawijaya Dr Dewi Cahyandari SH, MH mengatakan secara ontologis pembentukan Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2022 patut dipertanyakan
"Apakah negara bisa disamakan dengan privat dalam piutang negara sehingga bisa mencabut hak-hak keperdataan warga negara dalam hal piutang negara ? Ada lima hal yang bisa digugat dari kehadiran Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2022  ini misalnya secara instrumen hukum  apakah bisa dilaksanakan ? Apakah secara aparatur untuk melaksanakan penyelesaian memiliki kemampuan ditengah keridakprofesionalan para aparat negara ? Faktor masyarakat apakah memang siap untuk medukung pelaksanaan PP ini ? Dari budaya hukum apakah bisa mengakomodir kehadiran PP ini ?,"ungkap Dewi Cahyandari.
Sementara itu pengajar Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Malang Sumali mengatakan Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2022 memang memiliki banyak kecacatan. Mengapa Undang-Undang Panitya Urusan Piutang Negara Tahun 1960 baru dibuat peraturan pemerintah-nya dibuat tahun 2022 ?
"Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2022 ini tidak memiliki  konsiderans secara filosofis dan sosiologis. Jangan-jangan PP ini dibuat karena pemerintah memang kekurangan akal dan kekurangan dana untuk membangun Ibu Kota Negara ? PP ini sarat dengan dengan aspek perdata dan terlalu luas dampaknya terhadap aspek-aspek layanan publik seperti pelayanan kependudukan, pencekalan, bahkan terlalu melampaui kewenenangan negara,"ungkap Sumali yang pernah menjadi Hakim Adhoc Tipikor di Palembang dan Denpasar.
Sumali berpandangan PP No 28 Â Tahun 2022 sangat cacat hukum karena tidak mengandung norma. Undang-undang yang memayungi PP ini saja tidak memiliki norma. PP ini sangat cacat hukum.
Baik Dewi Cahyandari maupun Sumali menyarankan agar PP Nomor 28 Tahun 2022 dilakukan uji materi  karena peraturan ini cacat dan in just in casu PP aquo bisa dilakukan dengan pengajuan gugatan hak uji materiil ke Mahkamah Agung.
Dari beberapa pasal yang ada di Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2022 seperti pasal 1 tentang pihak yang memperoleh hak dan kualifikasi penanggung utang bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 49 Peratutan Pemerintah Pengganti Undang-Undang 1960 tentang Panitiya Urusan Piutang Negara, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Azasi Manusia.
Â
Pasal 38 Ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2022 tentang Pengalihan Hak Secara Paksa begitu Bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (PPSK), Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM serta Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik.
Â
Pasal 77 PP No. 28/2022 tentang upaya hukum  sangat "kontra" dengan  UU No 39/1999 tentang HAM yakni yang mengajukan proses hukum dan peradilan merupakan hak setiap individu dalam rangka menjamin dan mempertahankan hak-hak konstitusional.
*Ari Junaedi adalah akademisi, konsultan komunikasi & kolomnis
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H