Mohon tunggu...
Ari Junaedi
Ari Junaedi Mohon Tunggu... Dosen - Pengajar, Konsultan, Kolomnis, Penulis Buku, Traveller

Suka membaca, menikmati perjalanan, membagi inspirasi, bersilaturahmi

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Mendekap Malam di Kajoetangan, Malang

16 Mei 2023   16:55 Diperbarui: 16 Mei 2023   17:00 642
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Menghabiskan malam dengan kopi Dampit (foto : Ari Junaedi)

                                                                          MENDEKAP MALAM DI KAJOETANGAN, MALANG

                                                                                                                      Ari Junaedi*

akulah rindu,
dalam seduhan secangkir kopi
saat segalanya menjadi asap kematian
selepas tertinggal pada jarak
dan kesanggupan kumenghirup

akulah rasa,
dalam makanan yang terhidang
saat segalanya menjadi irisan kehidupan
selepas berlabuh dalam luka

akulah puisi,
dalam setiap buku harian
saat rindu dan rasa memilih tiada
selepas ramalan luka perawan
menghancurkan hati di sepanjang air mata
yang terlanjur melupakan sabda cinta

Puisi "Akulah" yang ditulis L.Y. Misnoto di Malang, Jawa Timur, 2019 menjadi gambaran penggalan-penggalan rasa rindu terhadap masa lalu. Entahlah, apakah karena saya terlahir di Malang membuat saya selalu merindukan segala kenangan masa kecil di kota itu.

Kajoetangan begitu banyak menyimpan memori lawas (foto : Ari Junaedi) 
Kajoetangan begitu banyak menyimpan memori lawas (foto : Ari Junaedi) 

Selepas pulang sekolah di SD Kristen Merapi, kerap saya bersama teman-teman bermain ke rumah Handi. Rumah Keluarga Handi cukup unik karena berada di atap pertokoan di Kajoetangan, sebuah kawasan pertokoan di jalan utama di Kota Malang. Karena tinggal di roof top, rumah Handi menjadi salah satu idola saya bersama teman-teman untuk bermain. Malang di tahun 1970-an masih berhawa dingin. Kami selalu memakai tambahan baju penghangat agar tidak kedinginan.

Persahabatan saya dengan Handi maupun Tjiang Yung Chan yang beragama Konghucu, demikian pula dengan Agus Sartono dan mendiang Dwi Waluyo yang menganut agama Islam atau dengan Ruli, Diah dan Ina yang beragama Kristen berjalan rukun. Setiap Lebaran, mereka merayakan bersama dengan saya. Ketika Natal, kami ramai-ramai mendatangi gereja untuk melihat kemeriahan umat Kristiani.

Saat diajak kakek saya mengambil uang pensiunnya sebagai mantan anggota polisi Brigade Mobil (sekarang Brimob) di Kantor Pos Besar di seberang Alun-Alun Kota Malang, Jalan Kajoetangan selalu kami lewati. Bau asap bakaran sate ayam di Restoran Oen menjadi "harapan" yang tidak terkabulkan di masa kecil.

Uang pensiun kakek saya terlalu "sayang" jika sebagian dibelikan sate ayam Oen mengingat harganya mahal. Pengunjung Restoran Oen biasanya dari kalangan berduit atau orang-orang "Londo" -- biasa kami memanggil untuk orang asal Eropa - yang berkunjung ke Malang.  Kemampuan kakek saya hanya sanggup membelikan sate ayam yang dijual pedagang asal Madura di Pasar Besar.

Menikmati kuliner sembari nostalgia di Kajoetangan (foto : Ari Junaedi)
Menikmati kuliner sembari nostalgia di Kajoetangan (foto : Ari Junaedi)

Di jelang Lebaran, biasanya bapak ibu mengajak saya dan kakak-kakak untuk beli baju baru di toko-toko yang ada di sepanjang Jalan Kajoetangan. Tentu saja membeli baju adalah ukuran "kemewahan" di tahun 1970-an dan saya pun alhasil hanya bisa bangga dengan baju baru yang dibelinya setahun sekali.

Mendiang ayah saya yang menjadi anggota TNI-AD berpangkat bintara, paham betul dengan kesukaan saya menonton film perang. Film-film yang saya gemari adalah kisah Perang Dunia ke-II. The Dirty Dozen, A Bridge Too Far, dan Tora-Tora  adalah film-film perang yang pernah saya tonton di Gedung Bioskop Merdeka. Bahkan dalam semalam, saya berdua dengan ayah sempat menonton dua film perang secara berurutan di dua bioskop yang berbeda, yakni di Gedung Bioskop Ria dan Surya. Jika Merdeka Theater di Jalan Kajoetangan maka Ria dan Surya berada di dekat Alun-Alun, yang tidak jauh dengan Kajoetangan.

Bagi saya Kajoetangan bukan sekedar nama sepenggal jalan protokol di pusat Kota Malang. Kajoetangan yang telah bersalin nama menjadi Jalan Basuki Rahmat begitu menyimpan banyak memori.

Toko Mainan Lido di perempatan jalan Kajoetangan dengan Bromo adalah "surga" bagi saya dan anak-anak ketika itu. Jika anak-anak dari keluarga berada berwajah gembira usai menggamit mainan baru, saya cukup "memvisualkan" mainan yang saya sukai. Kakek akan berusaha mencarikan di pasar rombeng atau barang bekas di perkampungan di belakang Kajoetangan. Jika beruntung, kakek saya bisa menemukan mainan "mobil-mobilan" yang saya impikan.

Kajoetangan menjadi ikon kota Malang, Jawa Timur (foto : Ari Junaedi)
Kajoetangan menjadi ikon kota Malang, Jawa Timur (foto : Ari Junaedi)

Dereten toko-toko disepanjang Jalan Kajoetangan begitu lekat di benak saya hingga sekarang. Ada toko yang khusus menjual tembakau dan cerutu. Ada toko yang khusus menjual mesin jahit bermerek "Singer", ada kantor Perusahaan Listrik Negara (PLN) tempat warga bisa membaca koran "Bhirawa" atau "Merdeka"  dengan gratis karena terpampang di papan berkaca.

Metamofosa Kajoetangan

Melihat perkembangan Kajoetangan, Malang saat ini saya menjadi teringat dengan Ernest W Burges. Dalam bukunya yang berjudul "Introduction to the Science of Sociology (1921)",  disebutkan kalau manusia punya kecenderungan alamiah untuk berada sedekat mungkin dengan pusat kota.

Kajoetangan sesuai perkembangan zaman, kini telah terimbas dengan kemajuan zaman dan perubahan wujud kota. Ciri-ciri pertokoan modern yang membutuhkan ruang parkir yang memadai  tidak lagi bisa diakomodasi Kajoetangan. Perubahan pola  bisnis baru juga meniadakan keberadaan toko-toko lama. Kini Kajoetangan bersolek rupa menjadi kawasan kuliner dengan memanfaatkan keberadaan bangunan-bangunan tua yang masih berdiri kokoh dan terawat.

Kajoetangan menjadi kawasan
Kajoetangan menjadi kawasan "heritage" penanda perjalanan sejarah Kota Malang (foto : Ari Junaedi)

Perubahan demografi Kota Malang yang banyak dihuni kalangan usia muda dan pergeseran pola kehidupan, menjadikan Kawasan Kajoetangan berubah wujud menjadi sentra kuliner dan tumbuhnya keberadaan kedai-kedai kopi.

Untuk memberi ruang kebebasan ekspresi seniman, beberapa titik di Kajoetangan menjadi panggung pertunjukkan musikalitas seniman-seniman muda. "Menyeruput" kopi di Kajoetangan tidak lagi menjadi medium pengungkit nostalgia masa lalu tetapi juga menikmati malam yang semakin riuh dan semarak.

Mengudap kelezatan kuliner bukan pula mengenang masakan mendiang nenek dan ibu, tetapi juga merasakan kembali masakan-masakan kuno yang masih terasa enak di lidah. Sayup-sayup saya masih terigat dengan lagu "Malang Kota Subur" ciptaan R. Dirman Sasmokoadi, lagu wajib yang diajakarkan saat saya bersekolah di SD Kristen Merapi, yang kini keberadaan sekolah yang sarat  dengan ajaran kedsiplinan telah lama tutup.

Betapa indah gemilang
Kota Malang
Kota di datar tinggi
Sejuk, menarik hati
Yang Brantas melintas berliku
Yang tepi dilindung gunung
Penuh pemandangan sehat
Malang kota berkat

Ya, Malang kota harapan
Setiap insan
Lihat gedung s'kolahnya
Lihat industrinya
Sekitarnya penuh tamasya
B'ri sehat jiwa dan raga
Marilah kawan bersyukur
Malang kota subur

Menghabiskan malam dengan kopi Dampit (foto : Ari Junaedi)
Menghabiskan malam dengan kopi Dampit (foto : Ari Junaedi)

*Ari Junaedi adalah akademisi, konsultan komunikasi, akademisi dan perindu Kota Malang.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun