Oleh: Ari Junaedi
"Dan kopi tak pernah memilih siapa yang layak menikmatinya, karena dihadapan kopi kita semua sama."
Selarik puisi tentang kopi yang ditulis Vergie Crush ini begitu menempatkan kopi pada posisi setara dihadapan para penikmatnya. Kopi tidak membeda-bedakan kelas, semua bisa menikmati kopi dengan caranya masing-masing.
Saat mengunjungi daerah-daerah di luar Depok, Jawa Barat, saya kerap ditanya oleh para pengundang acara yang saya hadiri ke tempat mana yang akan menjadi tujuan pertama? Pengundang merasa harus melayani saya dengan baik agar saya merasa betah dan nyaman di tempat tinggalnya.
Saya selalu menyebut; warkop! Yaah, warkop merupakan akronim yang memiliki kepanjangan dari warung kopi. Di beberapa daerah, sebutan kedai kopi juga masih jamak didengar sementara di kota-kota, orang semakin terbiasa dengan nama caffee.
Warkop bagi saya tidak sekadar tempat "ritual" melepaskan penat dengan mencicipi cita rasa kopi. Seperti kebanyakan penikmat kopi lainnya, meminum kopi seperti halnya menambah "dopping" agar tetap semangat menghadapi beragam aktivitas.
Usai minum kopi, serasa ada tambahan energi dan memudahkan inspirasi mengalir. Tidak jarang, warkop adalah medium eksekusi ide menjadi langkah kerja yang harus saya lakukan bersama anggota tim. Warkop juga menjadi tempat favorit menuangkan gagasan menjadi narasi panjang.
Jika saya tiba pagi di Pontianak, Kalimantan Barat dengan penerbangan paling awal dari Bandara Soekarno Hatta, maka Warkop Asiang menjadi rujukan yang pertama. Dengan jam buka sejak pukul 3 dinihari, kendala check in kamar hotel di Pontianak bisa diatasi dengan mudah tentunya dengan ngopi di Warkop Asiang dulu
Warkop Asiang selalu ramai dan memiliki semua segmen pengunjung. Mulai dari pejabat, penggemar sepeda yang tengah rehat, politisi, marketing produk hingga mahasiswa. Selain cita rasa kopi susunya yang "pas", datang ke Warkop Asiang seperti melihat elan semangat kerja Koh Asiang yang patut dicontoh.
Membuka warkop sejak tahun 1958, hingga kini Koh Asiang tetap mempertahankan ciri khasnya tidak menggunakan baju atau kaos. Asiang yang setengah "bugil" menjadi ciri khas barista yang tidak ada tandingannya di kota seribu warung kopi tersebut.
Hampir di setiap daerah, pasti memiliki artefak sejarah lama termasuk keberadaan warkop "legend". Jika pemerintah lokalnya menaruh perhatian kepada keberadaan bangunan-bangunan lama, baik yang tergolong cagar budaya atau tidak maka usaha anak muda perlu diberi tempat.Â
Pemanfaatan bangunan-bangunan lama sebetulnya bisa dikombinasikan dengan keberadaan warkop.
Di Sibolga, Sumatera Utara saya masih menjumpai usaha warkop yang dikelola secara turun temurun. Warkop Bali misalnya, kini dikelola oleh generasi ketiga pemiliknya. Warkop Indra alias Aseng di Tarakan, Kalimantan Utara juga diteruskan oleh generasi ke dua.Â
Mencecap rasa kopi di kawasan lama atau bangunan lama, seakan membuat penikmat kopinya ikut menelusuri lorong waktu.
Di Bengkayang, Kalimantan Barat, saya menemukan Warkop Ongaku yang dikelola dengan sederhana. Warkop yang dirintis Chia Bun Sun di tahun 1989 menjadi ikon Kota Bengkayang.Â
Semua obrolan kehidupan, mulai dari harga sawit hingga politik nasional menjadi bahan obrolan warga. Sepertinya ritme kehidupan warga, dimulai dari Warkop Ongaku.
Di Kendari, Sulawesi Tenggara, keberadaan Warkop Haji Anto malah menjadi "episentrum" semua informasi. Mulai dari politik nasional, ramainya orang-orang maju menjadi Walikota Kendari, kisah miris orang dibusur tanpa tahu masalah hingga perselingkuhan.Â
Malah Warkop Haji Anto ditasbihkan sebagai warkop tempat yang harus didatangi oleh calon orang-orang "besar" sebelum berlaga di Pemilu.
Jika ingin mencari informasi apa yang terjadi di Kotabaru, Kalimantan Selatan, warkop di belakang Masjid Husnul Khotimah, Kawasan Sebatung menjadi rujukan saya.Â
Celoteh sopir truk angkutan jarak jauh berkisah soal jalanan rusak parah yang dilaluinya di Kabupaten Tanah Laut. Kerap pula saya menguping cerita soal bapak yang rindu dengan cucunya yang terpisah di seberang lautan Pulau Laut.
Warkop tidak saja menjadi wadah pertemuan semua lapis masyarakat. Warkop juga menjadi pembuktian dari anak-anak muda yang gigih memulai usaha mandiri.Â
Di Tarutung, Sumatera Utara, saya menjumpai warkop yang dikelola dengan citra kekinian. Walau berada di kota yang tidak terlalu pikuk, keberadaan Brew Brother Coffee menjadi "roh" kemandirian pengusaha muda di tingkat lokal.
Di Palu, Sulawesi Tengah, Empat Belas Caffee juga menjadi wujud kebebasan anak-anak muda Palu untuk berusaha. Pasca musibah gempa besar yang terjadi di Palu, tidak menyurutkan mereka untuk bangkit berusaha.Â
Warkop dengan sentuhan modern tersebut, selalu ramai dirujuk penikm at kopi di Palu. Memang sejatinya, kehidupan yang lebih baik memang harus terus diperjuangkan.
Di Kendal, Jawa Tengah, tepatnya di poros Jalan Parakan -- Sukorejo, Pagersari, Patean, saya malah menemukan kepasrahan hidup yang sareh, sumeh dan sumeleh.Â
Dari Warkop Merdeka, konsep sareh, sumeh dan semeleh yang selalu diucapkan orang-orang Jawa berusia lanjut dalam menghadapi setiap persoalan hidup, saya menemukan makna yang hakiki.
Perkataan sareh itu bermakna tenang, sumeh itu artinya tersenyum dan semeleh berarti pasrah. Apabila kata itu dirangkai menjadi satu kesatuan maka kurang lebih maknanya, dalam menghadapi segala sesuatu tetaplah sabar, tenang, tersenyum dan pasrah serta percaya kepada rencana Ilahi dalam setiap kehidupan.
Bagi pemilik Warkop Merdeka, ada atau tidak pengunjung tidak boleh membuatnya menjadi pesimis menghadapi hidup. Jika ada satu atau dua, sang pemilik begitu serius menyajikan secangkir kopi. Kopi tidak lagi menjadi komoditi, tetapi lebih pada kesyukuran hidup.
Sementara di Warkop Cendana di Tanjung Selor, Kalimantan Utara, kekompakkan para pendirinya menjadi bukti keseriusan untuk menekuni usaha yang mampu menghidupi banyak orang.Â
Besar kecilnya materi yang didapat dari usaha warkop tidak bisa disamaratakan. Bisa jadi disebut berukuran kecil bagi orang yang tidak bisa menikmati hidup akan tetapi dimaknai "besar" dan berlimpah bagi mereka yang mensyukuri kehidupan.
"Funiculi Funicula": Kisah-kisah yang baru terungkap, sebuah novel yang ditulis Toshikazu Kawaguchi (Gramedia Pustaka Utama, 2022) begitu apik menceritakan warkop di sebuah gang sempit di Kota Tokyo, Jepang.
Keberadaan warkop menurut peraih Japan Booksellers Award 2017 itu tidak saja menjadi tempat orang-orang ingin menjelajahi waktu tetapi juga merangkai masa depan dalam angan.
"Kenyataan memang akan tetap sama. Namun dalam singkatnya durasi sampai kopi mendingin, mungkin masih tersisa waktu bagi mereka untuk menghapus penyesalan, membebaskan diri dari rasa bersalah, atau mungkin melihat terwujudnya harapan...."
*Ari Junaedi adalah akademisi, konsultan komunikasi & kolomnis
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H