Malah Warkop Haji Anto ditasbihkan sebagai warkop tempat yang harus didatangi oleh calon orang-orang "besar" sebelum berlaga di Pemilu.
Jika ingin mencari informasi apa yang terjadi di Kotabaru, Kalimantan Selatan, warkop di belakang Masjid Husnul Khotimah, Kawasan Sebatung menjadi rujukan saya.Â
Celoteh sopir truk angkutan jarak jauh berkisah soal jalanan rusak parah yang dilaluinya di Kabupaten Tanah Laut. Kerap pula saya menguping cerita soal bapak yang rindu dengan cucunya yang terpisah di seberang lautan Pulau Laut.
Warkop tidak saja menjadi wadah pertemuan semua lapis masyarakat. Warkop juga menjadi pembuktian dari anak-anak muda yang gigih memulai usaha mandiri.Â
Di Tarutung, Sumatera Utara, saya menjumpai warkop yang dikelola dengan citra kekinian. Walau berada di kota yang tidak terlalu pikuk, keberadaan Brew Brother Coffee menjadi "roh" kemandirian pengusaha muda di tingkat lokal.
Di Palu, Sulawesi Tengah, Empat Belas Caffee juga menjadi wujud kebebasan anak-anak muda Palu untuk berusaha. Pasca musibah gempa besar yang terjadi di Palu, tidak menyurutkan mereka untuk bangkit berusaha.Â
Warkop dengan sentuhan modern tersebut, selalu ramai dirujuk penikm at kopi di Palu. Memang sejatinya, kehidupan yang lebih baik memang harus terus diperjuangkan.
Di Kendal, Jawa Tengah, tepatnya di poros Jalan Parakan -- Sukorejo, Pagersari, Patean, saya malah menemukan kepasrahan hidup yang sareh, sumeh dan sumeleh.Â
Dari Warkop Merdeka, konsep sareh, sumeh dan semeleh yang selalu diucapkan orang-orang Jawa berusia lanjut dalam menghadapi setiap persoalan hidup, saya menemukan makna yang hakiki.
Perkataan sareh itu bermakna tenang, sumeh itu artinya tersenyum dan semeleh berarti pasrah. Apabila kata itu dirangkai menjadi satu kesatuan maka kurang lebih maknanya, dalam menghadapi segala sesuatu tetaplah sabar, tenang, tersenyum dan pasrah serta percaya kepada rencana Ilahi dalam setiap kehidupan.