Warkop Asiang selalu ramai dan memiliki semua segmen pengunjung. Mulai dari pejabat, penggemar sepeda yang tengah rehat, politisi, marketing produk hingga mahasiswa. Selain cita rasa kopi susunya yang "pas", datang ke Warkop Asiang seperti melihat elan semangat kerja Koh Asiang yang patut dicontoh.
Membuka warkop sejak tahun 1958, hingga kini Koh Asiang tetap mempertahankan ciri khasnya tidak menggunakan baju atau kaos. Asiang yang setengah "bugil" menjadi ciri khas barista yang tidak ada tandingannya di kota seribu warung kopi tersebut.
Hampir di setiap daerah, pasti memiliki artefak sejarah lama termasuk keberadaan warkop "legend". Jika pemerintah lokalnya menaruh perhatian kepada keberadaan bangunan-bangunan lama, baik yang tergolong cagar budaya atau tidak maka usaha anak muda perlu diberi tempat.Â
Pemanfaatan bangunan-bangunan lama sebetulnya bisa dikombinasikan dengan keberadaan warkop.
Di Sibolga, Sumatera Utara saya masih menjumpai usaha warkop yang dikelola secara turun temurun. Warkop Bali misalnya, kini dikelola oleh generasi ketiga pemiliknya. Warkop Indra alias Aseng di Tarakan, Kalimantan Utara juga diteruskan oleh generasi ke dua.Â
Mencecap rasa kopi di kawasan lama atau bangunan lama, seakan membuat penikmat kopinya ikut menelusuri lorong waktu.
Di Bengkayang, Kalimantan Barat, saya menemukan Warkop Ongaku yang dikelola dengan sederhana. Warkop yang dirintis Chia Bun Sun di tahun 1989 menjadi ikon Kota Bengkayang.Â
Semua obrolan kehidupan, mulai dari harga sawit hingga politik nasional menjadi bahan obrolan warga. Sepertinya ritme kehidupan warga, dimulai dari Warkop Ongaku.
Di Kendari, Sulawesi Tenggara, keberadaan Warkop Haji Anto malah menjadi "episentrum" semua informasi. Mulai dari politik nasional, ramainya orang-orang maju menjadi Walikota Kendari, kisah miris orang dibusur tanpa tahu masalah hingga perselingkuhan.Â