Bukan lautan hanya kolam susu
Kail dan jala cukup menghidupimu
Tiada badai, tiada topan kau temui
Ikan dan udang menghampiri dirimuOrang bilang tanah kita tanah surga
Tongkat kayu dan batu jadi tanaman
Orang bilang tanah kita tanah surga
Tongkat kayu dan batu jadi tanaman
Syair lagu Kolam Susu karya Koes Plus itu mungkin saja tidak berbicara tentang Indonesia di masa kini. Mungkin saja, syair itu menggambarkan Indonesia saat itu, saat dimana penduduk tidak sepadat sekarang, saat keserakahan tidak sedahsyat sekarang. Dimanapun dan kapanpun kita bisa hidup menikmati kekayaan alam Nusantara. Saat nelayan melampar jala, kita bisa menikmati kelezatan tangkapannya. Saat padi ditanam, kita menikmati limpahan hasilnya. Saat bermacam-macam tumbuhan berlimpah dan kita menikmati secukupnya.Â
Kini, kita kalah dan tak lagi menikmati segarnya ikan laut. Ketika kapal-kapal besar mengeruk dan menghabiskan jutaan ikan, yang tersisa adalah ikan-ikan pemakan sampah yang memenuhi pantai-pantai sepanjang pulau. Melaut hanya tinggal sebuah kenangan, karena membuat konten-konten tarian ternyata lebih menggugah selera. Nelayan lupa melempar jala, nelayan lupa menyiapkan rezeki untuk kita.Â
Sawah-sawah yang terhampar di sepanjang jalan tol yang melingkar pulau pun mulai sepi. Petani bertopi yang biasanya asyik dan bergembira mengatur aliran air di sepanjang persawahan mulai pulang pagi. Sawah terasa membosankan karena tak menghasilkan apa-apa. Saat panen, tengkulak dan kawanan cukong mulai menggerus keringat-keringat petani desa.Â
Melaut hanya tinggal sebuah kenangan, karena membuat konten-kontek tarian ternyata lebih menggugah selera. Nelayan lupa melempar jala, nelayan lupa menyiapkan rezeki untuk kita.
Petani-petani tak lagi betah berlama-lama di sawah. Sejenak menengok padi dan kembali ke rumah untuk menikmati sajian televisi dan hiburan teknologi. Kita tak lagi menikmati indahnya persawahan luas dengan tetesan keringat petani, karena jalan tol telah mengusir kebiasaan bertani. Kita tak lagi melihat asyiknya petani membajak, menyiangi dan menyemprotkan pestisida. Yang kita nikmati adalah petani alih profesi menjadi buruh pabrik dan mengisi beragam konten di media sambil menari-nari.Â
Dalam sepuluh tahun terakhir, jumlah petani milenial atau kelahiran tahun 1981-1996 (perkiraan usia sekarang 27-42 tahun) turun. Proporsi jumlah petani berusia 25-34 tahun turun dari 11,97 persen pada 2013 menjadi 10,24 persen pada 2023. Begitu juga dengan petani berusia 35-44 tahun turun dari 26,34 persen menjadi 22,08 persen. Jumlah petani gurem naik tidak tanggung-tanggung, yakni sebanyak 2,64 juta orang. Hal itu juga menjadi salah satu indikasi berkurangnya lahan pertanian yang sebenarnya perlu dilindungi pemerintah untuk menjaga ketahanan pangan nasional. Penguasaan lahan petani kecil semakin rendah sehingga program kemitraan dengan petani gurem perlu didorong. (1)
Jumlah nelayan di Indonesia terus mengalami penurunan dalam satu dekade terakhir sebagaimana dilaporkan oleh dokumen Statistik Sumber Daya Laut dan Pesisir 2021. Pada tahun 2010 jumlah nelayan tercatat sebanyak 2.16 juta orang. Namun pada tahun 2019 lalu, jumlahnya tercatat hanya 1.83 juta orang. Dengan demikian, terdapat penurunan jumlah nelayan sebanyak 330.000 orang dalam sepanjang tahun 2010–2019.  Dalam catatan WALHI, penurunan jumlah nelayan di Indonesia didorong oleh dua hal, yaitu krisis iklim dan ekspansi industri ekstraktif di wilayah pesisir, laut, dan pulau-pulau kecil.  (2)
Profesi itu selalu saja dianggap lekat dengan kemiskinan dan dekat dengan kehinaan. Petani-petani dan nelayan-nelayan tak lagi sanggup menyediakan makan untuk kita.Â
Sebuah harapanÂ
Kita telah kehilangan ribuan petani atau nelayan hebat yang berkarya untuk negeri. Apalagi tidak ada lagi penerus hebat, tidak ada lagi anak muda yang mewarisi mereka. Profesi itu selalu saja dianggap lekat dengan kemiskinan dan dekat dengan kehinaan. Petani-petani dan nelayan-nelayan tak lagi sanggup menyediakan makan untuk kita.Â
Ribuan petani, ribuan nelayan tak lagi tak lagi mempunyai lahan. DI lautan, yang tertinggal ikan kecil tak layak konsumsi, di persawahan, ratusan hektar padi tak terawat dan tak menghasilkan apa-apa. Nelayan menangis, petaniku menangis. Kini, kita tak lagi menikmati makan selain berton-ton yang kita impor untuk mereka yang sanggup membeli. Kita telah menikmati kemiskinan dan ketidakmampuan menjadi kelaparan. Â Â
Kebangkitan kelimpahan pangan selalu kita rindukan karena di tanah ini masih tersembunyi jutaan kekayaan yang terpendam begitu dalam. Harapan ada di depan mata kita.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H