Pelantikan anggota parlemen yang terhormat, DPR, telah usai. Rapat-rapat di dalam gedung megah di Senayan pun telah dimulai. Ratusan wakil rakyat mulai berpikir dan memikirkan permasalahan di negeri ini.
Belum genap satu bulan, wakil-wakil rakyat menjadi pejabat terhormat di negeri ini, polemik dan kisah pilu diciptakan, seakan begitu menentang keadaan sekarang. Bagaimana tidak, saat rakyat dihadapkan pada permasalan PHK, perusahaan gulung tikar, daya beli lemah, dan semakin melambungnya utang masyarakat, tokoh-tokoh pilihan rakyat pun bermanuver hebat. Rumah-rumah dinas dianggap tak layak, tuntutan tunjangan perumahan pun dianggap solusi tepat.
Anggota DPR RI periode 2024-2029 tidak akan lagi mendapatkan fasilitas rumah dinas, sebagai gantinya para anggota dewan akan menerima uang tunjangan perumahan setiap bulan. Indra menjelaskan, keputusan ini diambil karena rumah dinas sudah tidak ekonomis untuk dipertahankan sebagai tempat tinggal mengingat kondisi bangunan yang sudah tua sehingga perlu biaya pemeliharan yang besar. (1)
Wakil rakyat utamanya DPR memang bukan satu-satunya lembaga negara yang membutuhkan fasilitas untuk mendukung seluruh fungsi, yakni legislasi, anggaran, dan pengawasan. Tugas dan kewenangan Parlemen diarahkan untuk selalu selalu berpijak kepada rakyat. Tanggung jawab besar ini adalah tanggung jawab terhormat. Namun, tidak berarti dengan tanggung jawab itu, parlemen  menjadi pemegang saham negara ini, atau pemilik sah negeri ini. Wakil rakyat terhormat karena kepercayaan yang diberikan seluruh rakyat. Menjadi wakil rakyat adalah menjadi sukma bagi negeri tercinta.
Tentu saja kisah tentang wakil rakyat di negeri ini berbeda dengan di Swedia. Di Swedia, para anggota DPR di Swedia hidup bersahaja. Mereka adalah bagian dari rakyat kebanyakan, yang tugasnya adalah mewakili rakyat. Tidak pantas jika hidup bermewah-mewah, bergelimang harta sementara rakyat tercekik banyak permasalahan. Rakyat banting tulang, tanpa ada tunjangan-tunjangan kemewahan untuk mereka. Apa yang dirasakan rakyat, apakah wakil-wakil rakyat ikut merasakan?
Memaknai  Pendidikan Tinggi
Menjadi wakil rakyat tentu saja membutuhkan perjuangan panjang. Bukan hanya keterikatan yang kuat dengan partai politik, tenar di seluruh negeri, tetapi menjadi wakil rakyat juga harus didukung pendidikan tinggi dan terhormat. Â Sulit rasanya menemukan wakil rakyat lulusan SD atau SMP, apalagi tidak sekolah sama sekali.Â
Tidak pantas jika hidup bermewah-mewah, bergelimang harta sementara rakyat tercekik banyak permasalahan. Tidak ada tunjangan-tunjangan kemewahan untuk mereka. Apa yang dirasakan rakyat, wakil-wakil rakyat harus ikut merasakan.Â
Di negeri ini, begitu ketat sebenarnya aturan menjadi wakil rakyat, termasuk kompetensi dalam hal pendidikan. Dalam hal pendidikan, seorang wakil rakyat harus dapat berbicara, membaca, dan/atau menulis dalam bahasa Indonesia. Wakil rakyat juga harus berpendidikan paling rendah tamat sekolah menengah atas, madrasah aliyah, sekolah menengah kejuruan, madrasah aliyah kejuruan, atau sekolah lain yang sederajat.
Dengan pendidikan tinggi dan berkualitas, selayaknya setiap wakil rakyat mempunyai  sikap-sikap dan karakter kuat sebagai seorang pemimpin. Pemimpin tidak hanya mempunyai kompetensi pendidikan tetapi harus mempunyai karakter yang baik agar dapat menjadi anutan setiap orang hadir  dalam lingkungan terhormat.  Ki Hajar Dewantara dalam ajaran kepimimpinan meletakkan Ing Ngarso Sung Tuladha, Ing Madya Mangun Karsa, dan Tut Wuri Handayani sebagai pilar pendidikan dan pilar kehidupan.Â