Mohon tunggu...
Ari Indarto
Ari Indarto Mohon Tunggu... Guru - Guru Kolese

Peristiwa | Cerita | Makna

Selanjutnya

Tutup

Analisis Artikel Utama

Sajian Angka Menipu Mata

8 Februari 2024   08:26 Diperbarui: 8 Februari 2024   14:15 863
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi: Contoh surat suara yang digunakan dalam simulasi pemungutan suara di Kantor KPU RI, Selasa (22/3/2022). (Foto: KOMPAS.com/Mutia Fauzia)

Survei. Deretan angka tersaji begitu rapi, membentuk gambar seolah menggambarkan sebuah situasi. Terkadang menjadi dewa untuk sebuah kemenangan, angka-angka dan gambar menista pengetahuan. 

Pemilihan umum bukan hanya sebuah pesta demokrasi dalam lima tahunan, tetapi kehadirannya selalu saja menyajikan beragam adegan yang terkadang menyedihkan, menyesakkan, menggembirakan, dan mengkhawatirkan. 

Biaya besar digelontorkan, partaipolitik diuji, calon-calon pemimpin negeri diseleksi, dan rakyat mulai berbondong-bondong menikmati pesta besar di lapangan, televisi dan sosial media.  

Perang visi, perang dana, perang peran, dan perang hoaks terkadang menjadi sarana ampuh meraih massa, memengaruhi pikiran dan hati nurani rakyat. 

Segala cara adalah jalan keluar yang halal untuk dilakukan. Kekalahan seolah akan menghinakan dan menghancurkan kehidupan dalam lima tahun ke depan. 

Sebuah pintu terbuka meraih kehidupan menyenangkan seluruh keturunan.  Hari ini berjuang,  selama kehidupan akan terang benderang.

Sebuah pesta yang seharusnya menggembirakan, pada akhirnya menciptakan sengketa, pertentangan, ketegangan, dan justru perpecahan. 

Apalagi jagat akademik yang seharusnya begitu kaya dengan objektivitas,  kepedulian, kesetiakawanan, dan kelogisan dimanfaatkan hanya sebagai gerbang menguasai massa. 

Mereka yang pintar dan bermodal begitu mudah mempermainkan pengaruh, menggunakan deretan angka dan gambar memprovokasi rakyat biasa. 

Setiap hari, rakyat disajikan angka dan gambar yang menyajikan sebuah kemenangan. Di berbagai media masa tersaji diagram dan gambaran kemenangan, seolah akan begitu saja mengakhiri sebuah pesta. 

Visi terkubur begitu dalam, program-program tersembunyi begitu dalam, sementara sajian angka hasil survei tersembul, bangkit dari menakut-nakuti dan memorak-porandakan nurani. Begitulah, survei tidak lagi menggambarkan pendapat, perilaku, preferensi, dan karakteristik yang patut dihargai. 

Mereka yang pintar dan bermodal begitu mudah mempermainkan pengaruh, menggunakan deretan angka dan gambar memprovokasi rakyat biasa.

Survei seharusnya menjadi alat penting untuk memperoleh gambaran tentang beragam situasi. Survei seharusnya menyajikan tingkat popularitas tokoh di kalangan masyarakat, tingkat dukungan pemilih, atau kondisi nyata sang kandidat dan partai politik. 

Hasil Litbang Kompas Pemilu 2019 (Sumber: Kompas.com, 20/03/2019)
Hasil Litbang Kompas Pemilu 2019 (Sumber: Kompas.com, 20/03/2019)

Namun, alih-alih menggambarkan sebuah situasi nyata, nyatanya survei-survei pemilu terkadang hanya menjadi alat menciptakan dukungan dan memengaruhi massa. 

Masa kampanye adalah pusara demokrasi. Dikenal dan tenar menjadi duta kekuasaan. Bukan hanya gambar dan foto yang menguasai jalan-jalan kota, jalan-jalan desa, dan rumah-rumah warga, berisik suara di media sosial pun tak lepas dari upaya meraih kemenangan. 

Ada deretan angka yang sengaja diciptakan untuk melumpuhkan nurani rakyat, ada gambar-gambar yang sengaja dicetak membentuk kemenangan semu dan menuntut opini kemenangan. 

Perang hasil survei tak terhindarkan. Modal harus disiapkan, dana harus digelontorkan dan menguasai lembaga survei seolah terjamin kemenangan.  Angka-angka tinggi harus diciptakan, diagram elektabilitas disulap dan harus memabukkan. 

Klaim kemenangan sebelum selesai penghelatan terlontar dalam satu barisan kemenangan. Suasana damai sebuah pesta selesai, ketika logika tercabik dan tak lagi mengalirkan akal budi yang teruji. 

Kedaulatan akan dikembalikan ke tangan rakyat, harapan ribuan calon penguasa akan ditentukan dalam sebuah coblosan di bilik suara. Rakyat menjadi penguasa, kecuali ketidakjujuran menjadi napas pemilihan. 

Hasil survei memang memabukkan. Mereka yang merasa menang tak lagi harus melanjutkan pertandingan, sementara mereka yang dikalahkan terus berjuang sampai peluit akhir dibunyikan. 

Sebagian masih terus riuh dalam suasana pesta, sorak-sorai dan nyanyian perjuangan, sebagian bergelut menyusun pesta kemenangan. Semuanya akan segera selesai.

Kedaulatan akan dikembalikan ke tangan rakyat, harapan ribuan calon penguasa akan ditentukan dalam sebuah coblosan di bilik suara. Rakyat adalah pemegang kunci kedaulatan, kecuali ketidakjujuran dan ketidakadilan menjadi napas pesta kerakyatan. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun