Kata. Sekilas kata-katanya indah, bagus, santun, dan penuh iman. Setiap hari, setiap kata yang hidup tidak lepas dari rekaan kehidupan. Basa-basi menyusun kata membungkus kerakusan yang tak akan pernah sirna.Â
Betul. Namaku Sengkuni. Aku bukan siapa-siapa. Aku bukan tokoh wayang. Aku bukan pejabat. Aku bukan penguasa. Aku bukan pemain sandiwara. Aku bukan sutradara. Aku bukan penikmat kuasa. Aku juga bukan penjaga pintu surga. Aku hanyalah seorang anak kecil yang masih ingusan yang mencoba bermain sandiwara bersama orang tua.Â
Namaku Sengkuni, anak kecil yang tak pandai berkata apa-apa.Â
Belum genap dua tahun aku tinggal bersama paman tercinta. Di sebuah sungai kecil yang tak lagi mengalirkan air, Pamanku membangun sebuah istana. Tidak ada rakyat, tidak ada raja, tidak ada penguasa, tidak ada seorang pun yang hidup dipinggir sungai dengan bangunan kertas koran belaka. Kertas-kertas koran ini menjadi saksi, Paman pernah menjadi penguasa dan hidup berlimpah kaya. Kini, koran-koran itu adalah sejarah panjang Sang Paman dalam jutaan pesona dalam berita. Paman memang orang hebat.Â
Aku sengaja menyembunyikan diri dari permainan orang tuaku. Saat kerakusan menguasai orang tua dan menghalalkan segala cara untuk menguasai kerajaan tetangga, aku tidak tega melihat sang paman menjadi tumbal kekuasaan penguasa. Paman dicopot dari punggawa kerayaan karena kebohongan sang ayah tak tega dibungkam. Begitulah, ayahku memang begitu rakus akan kekuasaan, sudah menjadi raja dan ingin menguasai dunia.
Kini, koran-koran itu adalah sejarah panjang sang paman dalam jutaan pesona dalam berita. Paman memang orang hebat.
Aku tidak mau membela orang tuaku, ayahku. Dia telah mengorbankan aku, anak kecil ingusan untuk menjadi tumbal kerajaan. Aku sedih dan harus menyelamatkan Sang Paman. Karena dialah yang telah mengorbankan harga dirinya untuk menyelamatkan aku dan selamat dari kejaran kekuasaan Sang Ayah.Â
Ya, namaku Sengkuni. Aku hidup bersama kekuasaan Sang Ayah, tetapi aku memilih hidup bersama Paman yang ihklas menghidupi aku. Â Meski ayahku hebat karena berkuasa, tetapi pamanku lebih hebat karena dia penjaga pintu surga.Â
Kerajaan koran dari penggalan berita koran  tak memadamkan perjuangan Sang Paman untuk menjadikanku raja penguasa menggantikan Sang Ayah. Sengaja aku menjual kesedihan, tangisan dan belas kasihan agar saatnya tiba kebodohan rakyatku menjadikanku penguasa baru. Begitulah Sang Paman, sutradara dan ahli menyusun kata-kata. Belas kasihan menjadi senjara untuk melanggengkan kekuasaan keluargaku.Â
Aku adalah Sengkuni. Aku menyerah pada kehendak Paman. Kata-kata Paman selalu indah didengar, selalu menjadi tempat perlindunganku. Aku begitu nyaman, aku begitu nyaman apalagi kata-kata surgawi yang indah terdengar melunturkanku untuk mengikuti. Meski Paman tak dipercaya banyak orang, aku begitu lekat pada keinginannya. Meski setiap orang mencaci dirinya, aku harus menlindungi dan menyembunyikannya dari orang-orang jahat yang mengejarnya.Â
Meski Paman tak dipercaya banyak orang, aku begitu lekat pada keinginannya. Meski setiap orang mencaci dirinya, aku harus menlindungi dan menyembunyikannya dari orang-orang jahat yang mengejarnya.Â
Aku adalah anak kecil yang begitu menikmati kata-kata indah untaian kegundahan Sang Paman. Karena tak lagi berkuasa, aku terus menyembunyikan dalam berita-berita koran yang menganggapnya hina. Karena tak lagi bisa bicara, aku akan menjadi teman saat berkuasa.Â
Kini, ayahku menyerahkan kuasa. Pamanku berkuasa, aku berkuasa di penjara. Kerajaan koran telah tiada, Paman kembali menjual kata-kata, membuka pintu yang tertutup rapat.Â
Aku adalah Sengkuni yang tak lagi berkuasa. Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H