Ujian nasional. Ada yang hilang, ada yang datang. Ujian nasional dianggap tak membebaskan pikiran, kini sapaan bak pahlawan dihadirkan. Angka-angka dirindukan, rangking sekolah menandai keperkasaan.Â
Satu babak kisah kurikulum merdeka hampir usai. Kurikulum baru terlahir. Seperti kisah bertahun-tahun lalu, pemerintah baru, menteri berganti selalu  membawa jalan baru pendidikan, harus berubah, harus berbenah  Seolah dianggap dewa yang bisa menyulap anak-anak bangsa, kurikulum baru harus lahir untuk Indonesia.Â
Kerinduan sebuah persaingan, kerinduan keunggulan anak-anak muda dinanti penuh optimisme menyongsong Indonesia Emas 2045. Kurikulum merdeka dianggap tak mampu membebaskan  dan tak banyak menampilkan kehebatan pendidikan di negeri ini. Meski telah bertahun-tahun ribuan sekolah menerapkan langkah, ribuan guru berusaha keras menampilkan pengajaran memerdekakan, toh, pergantian kekuasaan mengharuskan kurikulum harus diperbaiki dan diperbarui.Â
Meski masih dihantui keraguan, tetapi Menteri Pendidikan, Mu'ti, menegaskan bahwa Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen) kini masih mengkaji kurikulum pendidikan yang akan diterapkan di Indonesia. Meski begitu, dia memastikan Kemendikdasmen belum memutuskan untuk mengganti Kurikulum Merdeka Belajar yang diterapkan pada masa jabatan Mendikbudristek Nadiem Makarim. (1)
Meski telah bertahun-tahun ribuan sekolah menerapkan langkah, ribuan guru berusaha keras menampilkan pengajaran memerdekakan, toh, pergantian kekuasaan mengharuskan kurikulum harus diperbaiki dan diperbarui.
Jadi-tidaknya kurikulum bergani pada akhirnya akan tergandung dari kajian-kajian yang dilakukan ahli-ahli kurikulum di kementerian. Namun, munculnya tokoh-rokoh pendidikan di kementerian dan menteri yang baru otomatis menggiring masyarakat untuk mempercayai munculnya kurikulum baru.Â
Ketika kurikulum lama dianggap tak mampu memberikan harapan perbaikan pendidikan di negerini, munculnya kurukulum baru selalu dianggap dapat memberikan senyum baru akan pendidikan di Indonesia. Terkadang kurikulum lama, kurikulum merdeka dianggap usang , ketinggalan zaman dan tidak memberikan tantangan anak didik. Maka, kelahiran kurikulum baru adalah sebuah sebuah jalan menjanjikan pendidikan anak negeri. Bukan hanya untuk anak-anak, guru, sekolah dan pejabat pendidikan, kurikulum harus mempu menampilkan anak-anak zaman yang hebat dan terampil mengisi kemerdekaan bangsa.Â
Bukan hanya kurikulum dengan begitu banyak perangkat, ujian nasional yang telah begitu lama ditinggalkan pun mulai diangkat kembali menjadi sarana menguji anak-anak negeri. Ada kegundahan, ada kesangsian dan ada begitu banyak keraguan akan munculnya kekangan kebebasan anak-anak negeri. Ketakutan tidak hanya menghantui memenuhi ruang kelas, tetapi meluap sampai rumah-rumah keluarga.Â
Di sisi lain, Mu'ti menyatakan pihaknya akan mengkaji materi-materi, urutan, serta bobot untuk pembelajaran sehingga tidak membebani murid dan guru. Â Dia juga berjanji akan mengkaji ulang penerapan kebijakan Kurikulum Merdeka Belajar, Sistem Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) dengan jalur zonasi, serta penghapusan Ujian Nasional (UN). (1)
Menemukan Kurikulum Bermakna
Hampi 80 tahun kemerdekaan negeri ini, masalah pendidikan belum menemukan kerangka yang kuat. Masih seringnya otak-atik kurikulum dalam masa-masa pemerintahan baru, seolah memunculkan kesangsian akan lahirnya pendidikan nasional yang bermartabat. Padahal, jejak-jejak pendidikan nasional telah dimulai sejak munculknya tokoh pendidikan Ki Hajar Dewantara melalui sekolah Taman Siswa tahun 1922.Â
Padahal, jejak-jejak pendidikan nasional telah dimulai sejak munculknya tokoh pendidikan Ki Hajar Dewantara melalui sekolah Taman Siswa tahun 1922.Â
Jejak Ki Hajar Dewantara dalam memajukan pendidikan Indonesia adalah dengan mendirikan sekolah bernama Taman Siswa di Yogyakarta pada 3 Juli 1922. Lewat Taman Siswa, Ki Hajar Dewantara berusaha memadupadankan pendidikan bergaya Eropa dengan pendidikan gaya Jawa tradisional. Di sekolah ini juga, Ki Hajar Dewantara menumbuhkan kesadaran para siswa bumiputera akan hak-hak mereka dalam mendapat pendidikan yang layak. (2)
Namun, jejak ratusan tahun lalu tersebut sepertinya tidak pernah menjadi pijakan untuk memperkembangkan pendidikan nasional. Alhasil, pendidikan yang  bermartabat dan berkarakter masih sebatas impian. Pendidikan yang berkualitas masih sebatas perdebatan.  Pendidikan melahirkan sumber daya yang berkualitas hanya semacam dongeng belaka. Kita masih terjebak pada keinginan mengganti dan terus mengganti. Semoga kisah tentang pergantian kurikulum tidak hanya menjadi rutinitas masa pergantian menteri.Â
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H