Merah. Terbakar bukan karena bara yang menjalar memenuhi sudut kota, tetapi amarah belum juga padam karena keserakahan. Tokoh dan penguasa mulai mengumbar keserakahan dan asyik menggali kubur sendiri.Â
Karena aku terbiasa hanya melihat kebajikan, setiap orang selalu terlihat bak malaikat. Ketika aku tidak terbiasa melihat kekurangan, setiap orang adalah pahlawan. Kebajikan dan kebaikan tersembunyi begitu dalam, dalam benak dan pikiran penguasa yang setiap hari lalu lalang menyusun kata. Aku tidak pernah mengerti ada kebencian yang tetap tersembunyi dalam rencana-rencana suci yang tak terendus nurani.
Sore ini, aku berdiri tepat di sudut sebuah rumah besar, kokoh dengan tembok yang tak mungkin tertembus  siapapun yang berniat menerobos. Kokoh sebuah istana dengan tentara yang saban hari terus berjaga. Yah, aku berdiri melihat istana yang telah melemparkan aku pada kedengkian dan kemiskinan. Aku dendam, tapi aku hanya bisa dendam. Karena kakuasaanku hanya tertahan di hati yang paling dalam. Orang sepertiku tidak boleh membenci, karena pilihannya hanya mengikuti dan tertunduk pada kehendak tuanku.Â
Pilihan tidak pernah ada jika kita selalu pada posisi rakyat jelata. Bisa meneruskan hidup saja sepertinya sebuah kebahagiaan yang terkira. Tidak perlu memikirkan urusan kerajaan, tidak penting mempedulikan kekuasaan. Rakyat adalah penurut, tidak perlu disuguhi jabatan karena setiap jabatan untuk mereka yang tetap bertahan dalam satu tujuan. Sayang, aku tidak bisa menjadi saudara, apalagi keluarga. Aku hanya bisa berdiri memandang istana yang terdiam dalam ketenangan.Â
Aku dendam, tapi aku hanya bisa dendam. Karena kakuasaanku hanya tertahan di hati yang paling dalam. Orang sepertiku tidak boleh membenci, karena pilihannya hanya mengikuti dan tertunduk pada kehendak tuanku.Â
Tetap kokoh bertahanÂ
Dua tahun lalu, istana ini begitu ramah kepada siapa saja. Aku begitu bangga menjadi salah satu keluarga meski setiap hanya menyapudan mengelap kaca. Namun, kebanggaan itu sirna, aku terusir dan tak bisa lagi menikmati suasana damai di dalam istana. Kini, aku tak lagi bisa melihat indahnya istana. Pandanganku terkalang tembok tinggi yang menghadap ke seluruh kota. Meski aku berdiri di ujung jalan ini, aku hanya bisa membayangkan kehidupan di dalam istana.Â
Seharusnya aku melupakan apa yang terjadi dan kualami dalam dua tahun di dalam istana. Namun, kenangan memang begitu kejam menguasaiku, seolah aku menjadi keluarga dan terus mengikat seluruh sejarah hidupku. Begitu sulit menghindar dan sejarah panjang hidupku, karena istana itu adalah bagian dari hidupku.Â
Aku tetap berdiri memandang ujung bangunan istana karena bagian itulah yang bisa tampak saat aku tegas memandangnya. Tiba-tiba hawa panas menggerogoti seluruh tubuhku. Tidak tampak ada yang terbakat, tidak tampak ada bergulat memadamkan api, tetapi hawa panas begitu liar berhembus begitu liar. Aku mencoba berteriak dan mencoba melangkahkan kaki begitu cepat. Namun, aku tetap saja harus bertahan sebagai rakyat jelata. Tidak ada pilihan kecuali menyerah pada keadaan.Â
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!