Mohon tunggu...
Ari Indarto
Ari Indarto Mohon Tunggu... Guru - Guru Kolese

Peristiwa | Cerita | Makna

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Meja Makan Tak Bertuan

4 November 2023   22:52 Diperbarui: 4 November 2023   23:19 137
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Meja makan. Sekumpulan orang terlelap di meja makan. Belum selesai sajian tersantap, suasana mencekam memenuhi ruangan. Semuanya yang hadir terdiam. Meja makan diam tak mampu bertahan. Dia akhirnya menangis menanggung luka. 

Sepuluh tahun yang lalu, meja makan ini mulai menghiasi dan menggenapi sebuah istana. Kerajaan berganti penguasa, segalanya dibuat begitu indah, rakyat mendukung dan berteriak gembira. Tirani musnah dan kesejahteraan mulai dihadirkan. Meja makan ini menjadi penanda, bukan hanya raja yang berhak menikmati indahnya kerajaan, tetapi rakyat kecil setiaps aat menikmati beragam fasiltas kerajaan. Istana selalu ramai dan setiap hari raja dieluk-elukkan. 

Perjalanan lima tahun kerajaan itu tak pernah tenggelam dalam penderitaan. Rakyat semakin terhanyut dalam kegembiraan dan kenikmatan. Segela kebutuhan tersedia, segala keinginan rakyat tak pernah lenyap, rakyat hidup sejahtera. Jalan-jalan semakin panjang dan bebas hambatan, waduk dibangun dan seluruh penjuru negeri tak lagi berkekurangan air. Perdagangan semakin berkembang, tetapi rakyat tak ada lagi yang berinat menjadi petani, tak ada lagi yang berminat menjadi nelayan. Karena beras telah didatangkan, ikan-ikan mulai didatangkan dari negara-negara tetangga. 

Rakyat lupa bekerja, lupa bertani, lupa berlayar, lupa bekerja karena begitu banyak orang yang mengerjakan dan membangun kerajaan. Orang-orang kerajaan lain mulai berdatangan dan membangun kerajaan. Kini, tanpa bekerja, seluruh rakyat hidup dalam kegembiraan. Buaian kegembiraan telah meninabobokan perjuangan.

Kini, tanpa bekerja, seluruh rakyat hidup dalam kegembiraan. Buaian kegembiraan telah meninabobokan perjuangan.

Dua tahun lalu ketika serangan wabah menghancurkan dunia, kerajaan di ujung dunia itu tak tersentuh nyata. Saat kerajaan lain dipenuhi kesengsaraan, kerajaan ini terus dipenuhi pesta setiap hari. Istana tetap saja menyediakan masakan-masakah mewah yang setiap saat dinikmati penguasa, pejabat dan rakyat jelata. Istana tetap menjadi  tempat menyenangkan dan menggembirakan semua orang. 

Kegembiraan setiap orang mulai terancam saat kerakusan putra mahkota mulai berkuasa. Keluarga kerajaan yang dipenuhi kesederhaan dan kebersamaam mulai lenyap saat putra mahkota berniat menguasai istana. Sang raja menolak, sang putra mahkota semakin beringas. Pertempuran keluarga terjadi, tetapi rakyat tak pernah mengetahui. Kerajaan dipenuhi amarah dan keberingasan. Sebagian punggawa memihak sang raja, sebagian memihak putra mahkota. 

Kerajaan dipenuhi amarah dan keberingasan. Sebagian punggawa memihak sang raja, sebagian memihak putra mahkota.

Perang keluarga terjadi. Sang raja bertahan melawan putra mahkota. Istana berantakan tetapi tak satupun berani melesai peperangan. Kedua terus berperang, semakin tak teredam, keduanya dalam perkelahian sengit saling melawan. Namun, saat sang raja berdiri tepat di atas sebuah meja makan dengan tatapan tajam siap meredam sang putra mahkota, sang anak terdiam. Sang anak terdiam dan tak berani maju selangkahkun pendekat sang ayah. 

Keduanya saling berpandangan dalam kemarahan. Perlahan redup wajah kemerahan keduanya, terdiam seluruh ruangan. Para punggawa tak berani bergerak, semuanya terdiam dalam ruangan sempit menuju ruang makan. Kekuasaan seolah lenyap, tergopoh-gopoh tak berharga. Rasa malu, rasa beralah, rasa tak berharga lenyap bersama angkara murka yang datang tiba-tiba. Kini, segala rasa bekelana mengetuk wajah paduka. 

Ruangan dengan meja makan itu ternyata telah menghentikan semua pertikaian. Sebuah kedurhakaan, kemarahan, kebencian yang selalu terbangun dalam hati sang anak untuk menguasai istana luluh begitu saja. Keberanian, kekalahan, keserakahan sang raja untuk berkuasa mengelupas dari lubuk kekuasaan. 

Di meja makan itulah, sang raja akan mengakhiri kekuasaan. Rakyat terdiam menunggu akhir pertunjukan. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun