Lingkaran aksi perundungan begitu menyiksa anak-anak yang seharusnya mendapat perlindungan. Apalagi peristiwa yang terjadi selalu saja di lingkungan sekolah yang selalu dianggap begitu kuat melindungi aksi-aksi siswa yang tak manusiawi. Beragam tuntutan dan usaha melindungi memang kerap dilakukan antara lain dengan protokol perlindungan anak. Namun, usaha tersebut seolah sia-sia ketika pada tingkat mahasiswa perundungan pun terjadi.Â
Kasus penganiayaan junior oleh seniornya terjadi di kampus Universitas Muhammadiyah (Unismuh) Makassar Sulawesi Selatan (Sulsel). Dalam kasus ini, ada dua mahasiswa yang menjadi korban penganiayaan yakni EA, mahasiswa semester 4 Fakultas Pertanian dan AW, mahasiswa semester 4 Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP). Aksi penganiayaan terhadap EA sempat terekam video hingga menjadi viral di media sosial. Sementara, AW dianiaya di dalam ruang kelas sehingga tidak terpantau kamera. Saat ini, kasus kekerasan ini telah dilaporkan ke pihak kepolisian untuk dilakukan penyelidikan.
Lingkaran aksi perundungan begitu menyiksa anak-anak yang seharusnya mendapat perlindungan. Apalagi peristiwa yang terjadi selalu saja di lingkungan sekolah yang selalu dianggap begitu kuat melindungi aksi-aksi siswa yang tak manusiawi.Â
Bahkan, perundungan yang dialami seorang mahasiswi UIN Jambi, Cintria, seolah menjadi pertanda bahwa upaya menghancurkan aksi perundungan hanya sebuah formalitas belaka. Â Bagaimana tidak, usai video tersebut viral, Cintria yang merasa dilecehkan dan dihina begitu banyak mahasiswa dari luar lift, tetapi aksi itupun harus berakhir dengan sebuah perdamaian. Mahasiswi UIN Jambi, Cintria disebut telah dipertemukan dengan lima mahasiswa yang mengganggunya di luar lift. Cintria mengaku sudah berdamai dan menjalani sidang etik dengan pihak kampus.Â
Cintria langsung mengunggah klarifikasi soal videonya yang viral, dan meminta maaf karena mengungkit kasus yang menyeret nama kampus ke publik. Dia mengaku sudah membuat surat permintaan maaf kapada pihak kampus.
Kisah tentang Cintria seolah menjadi antiklimak usaha untuk menangani beragam aksi perundungan di kawasan sekolah dan kampus. Mereka yang lemah dan seharusnya mendapat perlindungan justru dianggap menghancurkan nama baik sekolah dan kampus. Â
Namun, perundungan selalu memakan korban baik psikis maupun fisik. Selayaknya siapun mengambil peran menyelamtkan generasi bangsa dari aksi perundungan. Tanpa usaha dari sekolah atau kampus sendiri, rasanya kehidupan nan damai dan penuh persahabatan yang seharunya terjadi di dunia pendidikan hanyalah isapan jempol belaka.Â
Rasanya tidak salah jika Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Aries Adi Leksono mengatakan bahwa Indonesia sedang mengalami darurat kekerasan terhadap anak, khususnya di dunia pendidikan. Hal itu disampaikan menanggapi maraknya aksi bullying atau perundungan yang terjadi beberapa waktu belakangan.Â
Tanpa usaha dari sekolah atau kampus sendiri, rasanya kehidupan nan damai dan penuh persahabatan yang seharunya terjadi di dunia pendidikan hanyalah isapan jempol belaka.Â
Data KPAI hingga Agustus 2023 mencatat ada 810 kasus kekerasan anak di lingkungan sekolah dan lingkungan sosial mereka. Data ini cenderung naik setiap bulannya, sehingga perlu mendapatkan perhatian bersama untuk menekan penurunan angka kekerasan anak, khususnya di lingkungan satuan pendidikan.
Lalu, apakah kita akan tinggal diam melihat situasi seperti ini? Tentu tidak. Ketika sekolah dan kampus sudah berusaha menciptakan rasa aman, nyaman dan menyenangkan tetapi aksi ini terus terjadi, rasanya melibatkan keluarga untuk mengambil peran dominan sangat penting.Â