Mohon tunggu...
Ari Indarto
Ari Indarto Mohon Tunggu... Guru - Guru Kolese

Peristiwa | Cerita | Makna

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Nasionalisme yang Tertiup Angin

21 Juli 2023   19:32 Diperbarui: 21 Juli 2023   20:09 166
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Singapura (Sumber:Cegoh-Pixabay.com)

Angin. Tiupan angin kencang menyelimuti sebuah petualangan panjang menggapai mimpi panjang yang terbentur indahnya kenangan di kota tercinta. Jakarta masih saja seperti ini, sementara dunia berputar dan semakin laju memandang. 

Kita hidup dalam sebuah bongkah tanah mahaluas dengan segenap peristiwa yang setiap hari selalu berbeda. Bukan hanya kebahagiaan yang tersaji, kekecewaan, kesedihan, kelemahan, kekurangan, ketidakberdayaan selalu ada. Peristiwa demi peristiwa menghadirkan rasa yang menyentuh setiap indah untuk hidup sebagai manusia. Enggan meninggalkan rasa dalam setiap peristiwa, enggan berkata-kata dalam setiap peristiwa nyata. 

Berita-berita baru setiap hari muncul dan membuat jutaan warga maya menampilkan suka. Peristiwa demi peristiwa terjadi dan selalu membuat viral. Siapa saja bisa tenar dan hidup membabi buta. Begitulah kecerdasan warga kota dalam meneruskan hidup di kota. Tak pernah selesai, setiap waktu tak berlalu dengan berita-berita baru yang tak berlalu.

Begitulah kecerdasan warga kota dalam meneruskan hidup di kota. Tak pernah selesai, setiap waktu tak berlalu dengan berita-berita baru yang tak berlalu.

Di negeri ini, jutaan peristiwa setiap hari dan siap bersaing menjadi berita utama. Bahkan sebagian selalu mengadu nasib untuk menguji menjadi berita yang melegenda. Ada kebahagiaan, ada kecurangan, ada korupsi, ada politik. Segala bercampur menjadi drama-drama kecil yang mencoba mengusik dan menyihir penonton. Televisi hidup, apalagi radio dan beragam portal berita online tumbuh subur mencari penikmat abadi. Bisnis hidup dalam seputar peristiwa nyata dan bohong yang selalu bersaing memperebutkan nyawa kehidupan; uang. 

Begitu banyak ketidakpastian dalam setiap jejak kehidupan. Begitu banyak jalan menuju ujung penghidupan. Meski setiap usaha selalu diraih, tak setiap orang sanggup berjalan dengan begitu banyak godaan. Belum ada kenyamaman, belum ada ketentraman, belum ada kebahagiaan. Karena segalanya tak berujung dan nyata. Jika tanpa merasa, titik-titik kebosanan akan selalu membuat sengsara dan tak berdaya. 

Karena kebebasan tanpa kendali. Kita tak musti di sini, meski tangisan pertama di Puskesmas atau dukun bayi. Tidak harus hidup di sini, karena kehendak kita tak selalu abadi. Tujuan tak selamanya abadi karena saat segalanya begitu membuat tak sanggup bersama, bisa saja wajah kegelapan hadir sampai segalanya tak berdaya. Maka, sedikit mengubah arah kehidupan agar daya hidup tak terhenti dalam kebinasaan sekejap. 

Tujuan tak selamanya abadi karena saat segalanya begitu membuat tak sanggup bersama, bisa saja wajah kegelapan hadir sampai segalanya tak berdaya. Maka, sedikit mengubah arah kehidupan agar daya hidup tak terhenti dalam kebinasaan sekejap.

Negeri seberang 

Kehidupan harus terus dipertahankan dan terus dihidupkan. Negeri seberang terasa begitu nyata dalam keindahan dan kebahagiaan. Seolah segalanya akan menjadikan tanah yang terjanjikan itu hidup selamanya. Begitu menarik dan tak sanggup untuk ditolak. Karena godaan-godaan untuk kebahagiaan lebih terjanjikan, bukan sekadar hidup dalam usaha yang selalu sia-sia. 

Janji kehidupan adalah ketentraman dan kebahagiaan. Segenap rasa yang tak terhadirkan selayaknya menjadi akhir setiap babak kehidupan. Maka, janji-janji kebahagiaan terkadang menggoda siapa saja untuk mengantar dan melanjutkan kehidupan. Di sana seolah kebahagiaan akan didapat. Di sanalah seolah ketentraman akan diraih. Di sanalah seolah tersedia segala yang kita harap. Segalanya selalu ada dan menggoda kita.

Di sanalah seolah ketentraman akan diraih. Di sanalah seolah tersedia segala yang kita harap. Segalanya selalu ada dan menggoda kita

Godaan itu menguat dan melupakan nasionalisme. Impian-impian siap terwujud membuka mata yang selalu tertutup. Harapan hidup selamanya tertanam tak lekang. Musti tanah kelahiran terlupa, kehidupan yang nyata tak selamanya terbuka. Di sana, aku bisa saja tertegun dan tergoda, tetapi menjejaki tanah kelahiran tak bisa dihilangkan hanya karena godaan kenyamanan. 

Tanah dan air di tanah kelahiranku telah melekatkan aku pada sebuah tiang bendera yang kokoh berkibar. Aku bisa saja tergoda, tetapi tak selalu berakhir nyata. Tanah kelahiranku adalah ibu kehidupanku. Di sanalah setiap peristiwa semakin mendekatkan Dia yang begitu hebat merangkul diri. Meski terkadang rasa nasionalismeku tertiup angin dan membawaku kemana pun sampai di tujuan. 

Aku akan kembali dalam kehidupan nyata, di tanah ini. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun