Keluarga
Menjelang malam segala kerja usai. Kami kembali menyusuri gelap malam, menuju sebuah rumah. Rumah besar bersekat-sekat terangkai. Di rumah-rumah petak itulah kami memupuk kembali energi hidup.Â
Dalam rumah-rumah petak itu cerita dimulai. Usai lembur dan menghabiskan segala tenaga, energi kehidupan tumbuh kembali, ketika sahabat-sahabat sejati terjalin. Dalam keceriaan malam, sendau-gurau puluhan pekerja tak habiskan malam larutkan diri. Sejatinya sebuah keluarga terlahir dalam tembok-tembok rumah petak ini.Â
Rumah-rumah petak itu bukan sekadar tempat merebahkan hidup, lari dari kehidupan semrawut, sembunyi dari pekerjaan maut. Dalam suasana malam, di rumah itu, sekelompok pekerja makan malam bersama. Dalam suasana sedikit gelap, sebagian pekerja duduk dan bercerita. Dalam suasana kegelapan, lilin-lilin kecil menyala, menghadirkan kegembiraan hati.Â
Rumah dalam batas petak-petak itu bukan hanya menyajikan romantisme pekerja kota, tetapi menghadirkan keluarga nan jauh terbatas jarak. Rumah-rumah itu adalah keluarga yang tak sanggup lagi dikenang karena telah tiada. Rumah itu menjadi rumah bagi hati-hati yang mungkin dianggap hina, terlupa dan tak bermakna. Rumah itu adalah keluarga bagi pekerja-pekerja. Â
Rumah itu kini riuh dalam suasana malam kencan dalam temaram. Pekerja-pekerja tak lagi lupa akan asmara. Pekerja-pekerja tak lagi lupa akan cintanya, yang mungkin  hidup selamanya. Dalam rumah-rumah petak, sejatinya aku tak akan lupa kencan pertamaku.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H