Mohon tunggu...
Ari Indarto
Ari Indarto Mohon Tunggu... Guru - Guru Kolese

Peristiwa | Cerita | Makna

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Menandai Pupusnya Masa Keemasan Industri Buku

25 Mei 2023   21:59 Diperbarui: 29 Mei 2023   10:13 463
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Membaca (Sumber: Victoria Regen-Pixabay.com)

Buku. Bukan hanya menyediakan rekaman beragam pengetahuan, sebuah buku selalu menyimpan kekayaan peradaban manusia tak terbatas. Sebuah buku membuat kita tidak dikuasai kedangkalan pengetahuan.

Perjalanan industri buku di Indonesia begitu panjang dan berliku. Meski saat ini buku tidak lagi menjadi daya tarik, tetapi perjalanan sejarah perbukuan Indonesia telah melukiskan bagaimana generasi pecinta buku membangun komunitas. 

Tidak hanya penerbitan saja, toko buku telah membentuk sebuah rantai peradaban zaman yang begitu sulit untuk dilupakan. Buku menjadi bukti sebuah generasi tumbuh membangun diri. 

Bisnis buku tumbuh subur menjelma dalam dunia perdagangan sehingga buku menghidupi perusahaan-perusahaan besar yang membuka toko-toko buku di berbagai kota, bahkan ratusan kios-kios kecil di pinggir kota dan sekitar terminal kota, menyediakan buku meski tanpa pajak. Buku menjadi komoditas perdagangan dengan keuntungan tak terkira. 

Kisah masa keemasan buku itu kini telah selesai. Pecinta buku melunturkan kesetiaan, telepon pintar menggantikannya dengan begitu cepat. Buku begitu mudah diperoleh dengan gratis, Industri buku bertumbangan. 

Bukan hanya karena bahan baku yang semakin mahal, tetapi nilai jual buku semakin tak mempunyai arti untuk menghidupi diri. Toko-toko buku tidak lagi menyediakan buku menarik untuk dibeli. Buku-buku itu telah terkalahkan dan tenggelam karena teknologi komunikasi dalam segenggam telepon pintar menggantikannya. 

Industri Buku 

Teknologi telah meluluhklantakkan serangkaian komunitas buku. Kini, membaca dalam sebongkah telepon pintar menjadi tradisi yang menenggelamkan kebiasaan literasi. 

Tidak lagi kita temui anak-anak sekolah membaca buku sambil menunggu angkutan umum. Tidak lagi kita temui karyawan kantoran membaca buku di stasiun kereta api. Tidak lagi kita memberi hadiah buku-buku dalam beragam acara. 

Tidak lagi kita temui perpustakaan begitu ramai, pelajar membaca dan membuat rangkuman buku. Tidak lagi kita temui toko-toko buku dipenuhi kepadatan pengunjung untuk sekadar membaca atau membeli. 

Peradaban buku yang telah dibangun puluhan tahun itu tinggal sebait sejarah. Membaca bukan lagi menjadi gaya hidup yang menghasilkan manusia-manusia cerdas dan pintar. Kebiasaan itu tenggelam dalam rangkaian perjalanan panjang toko-toko buku di Indonesia. 

Perjalanan menuju keemasan perbukuan Indonesia dimulai menjelang tahun 1950. Saat itu IKAPI (Ikatan Penerbit Indonesia) mempunyai hampir 13 anggota penerbitan. 

Buku mulai diproduksi, toko buku pun mulai hiruk-pikuk dalam bisnis. Apalagi pada tahun 1955, pemerintah Republik Indonesia mulai mengambil alih industri penerbitan buku milik Belanda. 

Perjalanan sejarah perbukuan Indonesia semakin memuncak. Pada tahun 2015, Indonesia sudah mempunyai 1.328 anggota penerbitan Ikapi dan 109 anggota penerbitan non-Ikapi. 

Meski produksi buku tidak begitu besar, tetapi penerbit-penerbit yang aktif untuk menerbitkan buku ternyata hanya 700 unit pertahun dengan jumlah terbitan hanya sekitas 3000 eksemplar. 

Dalam kondisi seperti ini, penerbitan buku harus berjuang keras untuk menebus ongkos produksi yang semakin besar. Begitu pun dengan toko-toko buku. 

Ketika setiap tahun jumlah buku dicetak semakin berkurang, jumlah cetak semakin menurun, dan distribusi semakin membebani biaya, banyak toko buku yang tak sanggup lagi menyediakan keragaman. 

Akibatnya, konsumen tidak lagi melirik, karena buku begitu mudah diperoleh secara online. Buku-buku tanpa pajak yang begitu mudah diperoleh melalui media online telah memupus kisah romantisme toko buku. 

Toko Buku 

Kisah tutupnya beberapa gerai toko buku adalah sebuah bukti semakin terkalahkannya bisnis buku dengan perkembangan teknologi terutama telepon pintar. Toko buku tidak lagi menjanjikan keuntungan, tidak lagi menjanjikan masa depan bukan hanya untuk sang pemegang sahan, tetapi juga untuk konsumen mendapatkan pengetahuan. 

Sejarah panjang toko buku Togamas berakhir. Sebuah toko buku lokal di Solo tersebut resmi berhenti beroperasi sejak Juli 2022. Begitu juga dengan toko buku Periplus yang salah sartu gerainya di Malioboro Plaza, Yogyakarta juga melakukan menutup permanen gerainya. 

Nasib sama juga dialami toko buku Books&Beyond. Penutupan secara permanen gerai toko buku ini dilakukan di gerai Siloam Kebun Jeruk pada 2 Mei 2023, disusul dengan gerai di Siloam Karawaci tutup pada 3 Mei 2023. Sebelumnya gerai di Maxxbox Lippo Village juga tutup pada 28 April 2023. (1)

Kisah tumbangnya gerai-gerai buku yang telah puluhan tahun berjuang untuk mewujudkan literasi maju untuk Indonesia ternyata belum berakhir. Setelah selama 70 tahun berdiri, Toko Buku Gunung Agung, sebuah toko buku yang memiliki 14 toko buku di 10 kota di Jawa dan 20 toko buku di Jabodetabek ini akhirnya tak kuasa bertahan dari gempuran zaman. 

Gunung Agung telah berjuang untuk menjadi toko buku rantai ritel terkemuka di Indonesia yang menyediakan kelengkapan produk buku dan alat tulis berkualitas tinggi. 

Dengan harga yang bersaing dan layanan yang memusakan, Toko Gunung Agung telah berperan menjadikan toko bukan hanya menyediakan buku berkualitas, tetapi menyediakan beragam alat tulis, kebutuhan sekolah, barang mewah, barang olahraga, alat musik, otomatisasi/peralatan kantor, dan produk teknologi tinggi. Toko Buku Gunung Agung telah menjelma menjadi sebuah bisnis buku dan peralatan tulis. 

Kini, Toko Gunung Agung tinggal menyisakan sebuah sejarah perjalanan emas toko buku di Indonesia. Kondisi ekonomi membuat perusahaan tak mampu bertahan dengan semakin meningkatnya biaya operasional per bulannya. 

Ketidakberdayaan menghadapi serangan bisnis buku online, penyedia buku online, semakin menjamurnya buku bajakan yang begitu mudah diperoleh dari internet, membuat buku tidak lagi mempunyai daya tarik. 

Kebijakan 

Ratusan judul buku tidak lagi menarik untuk dijadikan sahabat dan teman dalam setiap perjalanan. Buku tidak lagi menjadi bukti kualitas sebuah pendidikan. Buku tidak lagi dianggap menjadi sumber pengetahuan. Karena zaman telah berlari begitu cepat dan kita tak sanggup lagi mengejarnya. 

Harapan masih ada. Saatnya kita berlari sekencang mungkin agar kondisi ini tidak terus-menerus terjadi. Namun, kita tak akan sanggup berlari jika pemerintah tidak mendorong dan memberikan energi. 

Kebijakan pengembangan literasi Indonesia selayaknya menghidupkan kembali peran perusahaan, toko buku, instansi pendidikan dan masyarakat. Saatnya arah literasi Indonesia semakin diperjelas agar kita tidak semakin dikuasai kedangkalan pengetahuan karena buku-buku tidak lagi tersedia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun