Ketika ribuan bahkan jutaan orang menggantungkan nasibnya di Jakarta, ada kehidupan yang  bernasib baik, ada sebagian dari mereka yang terpaksan harus terkalahkan oleh nasib.Â
Kini kehidupan di Jakarta penuh ragam dalam suku, agama dan budaya. Pekerja-pekerja itu pun menciptakan beragam kelompok dalam ragam yang berbeda.Â
Beragam tempat kuliner tercipta. Lorong-lorong jembatan penyeberangan, jalan-jalan sempit, kolong rel kereta, dimanapun ada tempat kosong, kawasan kuliner tercipta dan menumbuhkan serangkaian bisnis yang menjanjikan.Â
Siapapun mandapat untung dari bisnis ini; pengusaha kuliner, pengurus lingkungan, pekerja, tukang masak, sampai preman jalanan. Rangkaian bisnis baru di Jakarta selalu tercipta dan siap menerima siapa saja yang datang tanpa tujuan dan tanpa modal.Â
Apalagi, pembangunan di Jakarta berangsur semakin baik dan semakin modern. Ruang-ruang kumuh semakin menyempit.Â
Kesempatan beragam bisnis kaki lima mulai tergusur, tetapi gedung-gedung baru dan pusat belanja baru ternyata semakin beragam menyediakan dan mulai membangkitkan gairah baru.Â
Bisnis Baru
Jakarta menjadi kota dengan kemacetan yang semakin hari semakin parah, moda-moda transportasi pun semakin beragam.Â
Bukan lagi tergandung pada angkutan umum jalan, kita angkuta kereta listrik, MRT dan LRT mampu membelah gengsi dan status masyarakat utuk menunjukkan harga dirinya. Pusat ekonomi baru muncul, pusat keramaian baru muncul, pusat bisnis baru muncul.Â
Di setiap stasiun, kini pedagang kelas atas mulai menggusur mereka yang tak mampu menyewa. Mereka yang tadinya pedagang dan pengusaha kecil, kini harus bertahan menjadi pekerja di berbagai dunia usaha.Â
Pengusaha besar semakin besar dan bertahan di pusat-pusat ekonomi, sementara pengusaha kecil semakin tersingkir dan hanya menjadi penjaga.Â