Kami membaut sendiri  egrang. Semua sibuk, semua bekerja, sehingga egrang dengan segala macam ketinggian pun jadi. Setelah selesai, kami biasanya ke lapangan. Di sanalah kami berlomba-lomba beradu kecepatan. Biasanya menjelang berbuka kami baru selesai.Â
Namun, ada beberapa rekan kami yang mungkin tidak menyukai dengan egrang karena badannya yang agak gendut atau kakinya sakit. Meski mereka terus saja menjadi suporter, tetapi terkadang mereka juga membuat permainan sendiri, misalnya, ketapel.Â
Biasanya, selain kami membaut egrang ada di antara kami yang juga membaut ketapel. Ketika sebagian bermain egrang, rekan kami yang lain pun bermain ketapel.Â
Pada hari-hari tertentu, beberapa teman kami pun biasanya hunting, berburu dengan menggunakan ketapel. Menuju ke perbatasan kampung, mereka mencoba mendapatkan buruan.Â
Biasanya rekan-rekan kami ini berburu belalang. Seringkali rekan-rekan kami ini mendapatkan buruan yang begitu banyak, dan berbagi satu sama lain. Belalang ini biasanya akan digunakan untuk membaut sambal belalang yang biasanya kami santap bersama-sama saat kami makan malam.
Suasana malamÂ
Karena kampung kami belum begitu ramai  dan kami satu sama lain tinggal dalam rumah yang berdekatan, biasanya makan malam pun bisa dilakukan bersama-sama.Â
Kami membawa sepiring nasi, berkumpul di depan sebuah rumah, menggelar tikar, dan makan bersama apa adanya. Kami berbagi dengan makanan yang kami punya.Â
Setelah itu jika bulan begitu terang, kami bermain kembali sampai pukul delapan pertanda kami harus mulai belajar mempersiapkan esok hari.Â
Begitulah kebersamaan anak-anak di kampung kami. Saat itu kami menjalani kehidupan dalam kebersamaan dengan rekan-rekan kami. Permainan kami buat dan kami mainkan bersama.Â
Setelah itu, kami pun makan bersama dengan lauk tempe dan sambal belalang hasil buruan kami. Kami belajar bersama dengan terang cahaya lampu petromak atau lampu minyak senthir.Â