Mohon tunggu...
Ari Indarto
Ari Indarto Mohon Tunggu... Guru - Guru Kolese

Peristiwa | Cerita | Makna

Selanjutnya

Tutup

Ramadan Pilihan

Menikmati Mudik Lalu dan Kini

15 April 2023   20:31 Diperbarui: 15 April 2023   20:32 599
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Mudik (Sumber: Hasan Muhamud-Pixabay.com)

Mudik. Ritinitas tahunan membudaya menghancurkan tembok pemisah sosial orang kota dan orang desa. Kesatuan terbentuk dalam ikatan silaturahmi. Kereta-kereta menuju desa penuh sesak dengan harapan dan kebersamaan. 

Mudik adalah sebuah peristiwa istimewa. Ajang mempertemukan kenangan, buah perjuangan dan kebersamaan yang tersusun begitu rapi dalam rangkaian peristiwa tahunan menjelang hari besar. Ribuan masyarakat desa menunggu saudara, anak, istri, orang tua, untuk berbondong-bondong menuju tempat kelahiran. Mudik menyatukan rindu yang terpisah jarak. 

Rutinitas Masa Itu 

Setiap tahun rutinitas ini berulang, meski butuh perjuangan. Saat itu, 1992, nasib transportasi umum tak pernah terpikirkan, tak pernah diperbaiki seperti sekarang. Angkutan antarkota semrawut, penjualan tiket melalui calo sudah biasa. Bahkan, tiket tidak ada jika tidak membeli melalui calo. Kondisi perkeretaapian tak lepas dari situasi ini. Maka, menjelang perayaan besar, selalu saja banyak orang mengambil untung besar. 

Masih jelas teringat bagaimana untuk mendapatkan tiket kereta Pasar Senen-Semarang menjelang Hari Raya Lebaran. Satu bulan sebelumnya harus memesan dalam sekejap sudah habis. Satu-satunya cara untuk mendapat tiket, ya, lewat calo. Calo berkeliaran, menawarkan tiket lebaran, padahal di sebelah loket yang sudah habis terjual untuk tanggal keberangkatan tertentu. 

Tiket pun didapat dengan harga dua ratus persen dari harga normal. Tapi tidak apa, yang penting bisa pulang  saat hari raya.  Pulang harus diperjuangkan. 

Saat hari keberangkatan tiba, belum selesai perjuangan dan harus berulang. Ketika jadwal keberangkatan pukul enam sore, antrean untuk masuk kereta sudah terjadi sejak pagi hari. Ketika siang hari sampai di stasiun dan kita baru masuk, sungguh malang nasib terjadi. Masuk kereta begitu sulit, berebutan pun terjadi.  Bukan lagi berebut tempat duduk tetapi berebut tempat yang bisa buat duduk. Lorong kereta, depan toliet atau sambungan kereta menjadi tempat paling nyaman untuk mendudukkan tubuh. Itu pun jika masih kosong.  Kita tinggal duduk dan menunggu kereta berangkat. 

Saat menjelang berangkat, kereta sudah penuh sesak. Penumpang duduk diberbagi tempat. Lorong setiap gerbong penuh sesak dan kita tak akan bisa lewat.  Beranjak saja sulit apalagi harus bergerak. Meski begitu, masih saja ada pedagang  mainan, makanan, minuman, bahkan pengamen yang menyempatkan diri ambil bagian mencari kehidupan. Saat itulah kesabaran luar biasa meski dihadirkan dalam hari yang paling dalam. Tidak ada kemarahan, tidak ada kekecewaan, semua penumpang diam menuju kota tujuan. 

Kolaborasi 

Sebuah keberuntungan, sisa-sisa peristiwa dan suasana itu tidak terjadi saat ini. Ketika Pemerintah begitu keras terus menyiapkan sebuah peristiwa besar, mudik, menjadi sebuah rutinitas bermakna. Kereta api terus dibenahi, kebiasaan mudik terus dikelola dengan bermacam strategi. Berbagai perusahaan dilihatkan, berbagai instansi pemerintah berkolaborasi, rakyat ikut mendukung segala usaha Pemerintah. Maka, mudik menjadi sebuah peristiwa wisata religi. 

Apalagi banyak perusahaan dan instansi menyediakan mudik gratis. Perusahaan BUMN, perusahaan swasta, dan juga kepedulian perorangan mengambil peran nyata menyediakan transportasi gratis untuk rakyat. Pada akhirnya, perjalanan mudik membentuk kolaborasi pemerintah, masyarakat, perusahaan, sekolah-sekolah bahkan berbagai perusahaan media. 

Mudik harus dinikmati bukan hanya oleh mereka yang kaya, tetapi mereka yang lemah dan selama ini tersingkir sudah selayaknya menikmati kebersamaan mudik. Karena mudik bukan hanya sekadar pulang, tetapi menciptakan kelekatan dalam pergaulan, kebersamaan, dan kekeluargaan yang luar biasa. 

Mudik mengakar sebagai peristiwa budaya yang membentuk sikap peduli dan membiasakan masyarakat yang mengedepankan kebersamaan, kesabaran, kehati-hatian dan kolaborasi dalam berbagi dengan sesama. Mudik gratis menjadi karya kolaboratif yang membentuk kebersamaan nyata menikmati hari raya.  Selamat menikmati mudik yang menyenangkan dan mengembirakan. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ramadan Selengkapnya
Lihat Ramadan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun