Stasiun Gondangdia. Stasiun itu sudah dipenuhi penumpang. Jam 16.00 tidak seperti biasanya, penumpang sudah mulai memenuhi Stasiun Gondangdia. Perjalanan sore ini sepertinya akan cukup menghabiskan waktu meski di hari Minggu.Â
Kereta tiba, penumpang mulai masuk gerbong kereta. Meski penumpang cukup banyak, tapi gerbong itu masih cukup lega. Di ujung kereta masih tersedia sebuah sandaran, dan tak seorang pun tertarik. Perlahan tubuh tersandar dalam kelelehan yang begitu penat. Laju kereta akan mengantar ratusan jejak penumpang. Kereta itu masih menunggu sinyal hijau, pintu belum tertutup. Kereta itu belum juga berjalan,Â
Suara BapakÂ
Tubuh ini tetap tersandar, penumpang mulai berdatangan dan masuk. Handphone di saku tiba-tiba menyala, dan nama Bapak muncul di layar. Sore itu tidak disangka Bapak menyapa, menelepon dari kampung nun jauh di sana. Tidak ada kabar penting. Bapak ingin mendengar suara sang anak yang telah satu minggu yang lalu tak mengirimkan kabar. Suara Bapak, sekadar bertanya, sekadar memberikan kabar tentang suasana hari itu di kampung halaman. Bapak sedikit bercerita, Bapak begitu banyak bertanya. Begitulah di Stasiun itu, suara Bapak menggenapi perjalananku.Â
Bapak memang selalu hadir begitu tiba-tiba. Saat itu, ketika musim libur tiba, ketika anak-anaknya di rumah, apalagi ketika bulan puasa tiba, Bapak selalu punya sesuatu yang istimewa. Setiap bulan Puasa, siang hari setelah Bapak beristirahat siang, biasanya Bapak mulai duduk dan menyiapkan sesuatu. Bapak mulai membuatkan mainan yang biasanya kami mainkan di lapangan depan rumah. Bapak duduk sambil bercerita, sementara dua anak lelakinya duduk di depannya sambil bertanya. Biasanya selalu saja ada perasaan penasaran, apa yang akan dibuat Bapak di hari itu.Â
Namun, yang tidak pernah lupa dibuat Bapak saat puasa adalah layang-layang. Bapak selalu membuatkan layang-layang kecil dari potongan bambu dan kertas bekas sampul coklat. Sore itu, Bapak membuatkan kami sebuah layang-layang dengan kertas warna coklat. Layang-layang berwarna coklat itu selalu dibuat Bapak saat orang-orang di kampung kami mulai berpuasa.Â
Bapak asik membaut layang-layang sambil bercerita. Bambu yang dipegangnya menjadi tokoh dalam setiap cerita. Kertas yang mulai dipotongnya menjadi sebuah tokoh dalam setiap cerita. Bapak bercerita tentang bambu, tentang kertas, dan tentang masa mudanya yang selalu dipenuhi dengan petualangan heroik.Â
Rangka layang-layang selesai dibuat. Kertas mulai dilekatkan dan dipotong sesuai arah benang dan rangka layangan. Kini, layang-layang mulai tampak terbentuk. Kami merasa sungguh senang. Layang-layang sebentar lagi selesai. Setelah seluruh kertas selesai dilem, dan tapi guci mulai dipasang, Bapak memberikan layang itu. Satu per satu, kami diberikan layangan itu, lengkap dengan benang yang  telah disiapkan.Â
Terbanglah Layang-Layang ItuÂ
Begitu layangan kami terima, kami berlari menuju lapangan di depan rumah kami. Layangan kecil karya Bapak siap diterbangkan, mengangkasa, menerobos awan, membawa cerita tentang hari nan suci segera tiba. Layangan butan Bapak akhirnya mengangkasa. layangan sederhana buatan Bapak membuat anak-anak di desa kami gembira.Â