Kereta. Laju kereta semakin cemat bukan karena waktu lewat. Kereta itu dipenuhi banyak penumpang dan berusaha untuk sampai tujuan sebelum gelap tiba. Kereta melaju, desakan penumpang mulai terasa.Â
Sepanjang perjalanan kereta, seluruh gerbong memang penuh sesak. Sekian menunggu kereta, akhirnya penantian itu pun terusai. Kereta datang agak terlambat. Orang-orang sulit bergerak, masuk dan berdesakan. Sementara setiap berhenti di stasiun, penumpang selalu bertambah, dan sesak semakin memuncak. Kereta terus melalu menyanyikan iklan-iklan penghibur lelah. Kereta itu terus menyesahkan dan menampung begitu banyak penumpang. Sesak dan terus terasa sesak.
Kursi itu penuh penumpang. Wanita setengah baya, lelaki yang mulai beruban selalu mendapat tempat untuk duduk. Yang muda dan masih mampu berdiri biasanya mengalah untuk mereka yang harus mendudukkan tubuhnya karena termakan usia. Pemandangan kursi memang hampir semuanya wanita dan lelaki tua. Semua penumpang memang sudah tahu persis, kapan seharusnya memberikan tempat duduk, kapan musti berbaik hati, kapan musti mengalah. Kereta ini memang banyak mengajarkan kepedulian untuk mau belajar.Â
Saat Lelaki ItuÂ
Namun, ketika beberapa penumpang mulai turun, penumpang di  gergong mulai berkurang, penumpang merasa lega dan penumpang mulai bisa bernapas. Seorang perempuan setengah  baya yang duduk di pojok sebuah bangku beranjak turun. Beberapa penumpang spontan memberikanjalan untuk keluar. Kereta terhenti, wanita itu pun turun.Â
Seorang ibu tua yang  persis di depan wanita itu sebenarnya menunggu untuk duduk di sebuah bangku. Tetapi tiba-tiba, seorang lelaki muda menyerobot dan mendudukkan tubuhnya di sebuah bangku itu. Lelaku itu duduk diujung sebuah bangku yang ditinggalkan seorang wanita tua.Â
Lelaki berbaju biru itu tidak berkata apa-apa. Dia duduk dan terdiam. Mulai dibukanya telepon, dan begitu asyik bermain dengan telepon pintarnya. Laki-laki itu merasa bisa menguasai. Padahal di depannya berdiri seorang wanita yang rambutnya mulai memutih. Di tangannya masih dipegang sebuah amplop besar, bertuliskan Rumah Sakit Cipto mangunkusumo. Semantara  anaknya ternyata sudah duduk di depannya.Â
Di samping lelaki itu berdiri seorang wanita setengah baya yang selalu melirik ke arahnya, rasanya ia begitu lelah untuk meminta kursi. Sementara di depannya berdiri seorang laki-laki tua dengan rambut yang mulai memutih. Di sebelah kanannya duduk seorang anak kecil yang asyik memegang tas kecilnya, kelihatan sesekali menutup matanya. Ada kelelakan, ada ras sakit yang dirasakannya. Di sekeliling lelaki itu memang bukan orang yang gagah perkasa, kuat berdiri dan menunggu berlama-lama dan ingin segera turun. Lelaki itu tetap asyik memainkan telepon pintarnya.Â
Laki-laki itu tidak menoleh, tidak melihat apapun. Banyak penumpang yang begitu kuat menatap tajam pada arah si selaku itu. Lelaki itu tetap terdiam seribu bahasa. Sepanjang perjalanan laki-laki itu tetap menatap telepon pintar dan tak menoleh kemanapun.Â