Bunga Kemboja. Sebagai perlambang kehidupan dan kelahiran, bunga kemboja memancarkan warna yang penuh gairah. Menandai cinta yang selau hadir di tengah hiruk-pikuk zaman. Kehadirannya dalam batas kesunyian dan keramaian.Â
Di sebuah pasar yang sudah berpuluh-puluh tahun menjadi nadi hidup masyarakat desa, pohon besar itu tumbuh menusuk cakrawala. Tubuh meliuk-liuk memanda usia yang terus meraja. Tangkai-tangkai dengan daun yang semakin lama berguguran tak pernah selesai walau kemarau panjang datang. Pohon itu tetap menyisakan keindahan bagi warga desa yang lalu-lalang menghidupi desa.Â
Aroma sampai desa
Tidak ada seorang pun yang berani mengganggu kehidupan pohon kemboja. Tidak ada yang berani menebang, tidak ada yang berani merusak, tidak ada yang berani melukainya. Â Dia terus tumbuh, menggapai cerita pada orang desa yang terus-menerus melukiskan kehidupannya. Labih dari enam meter dalam warna putih bersih, bunga-bunga itu menyediakan aroma dan mengisi bau pasar desa.Â
Sebagai tumbuhan alam, Â keabadian bunga kemboja tidak akan pernah layu walau termakan cuaca. Meski pohon-pohon itu telah lapuk, keropos, menua atau mati sekalipun. Keabadiannya melekat dalam bunga-bunga alam semesta. Bunga kemboja menghadirkan keabadian sebuah kehidupan.Â
Bak seorang gadis, keindahannya menandai sebuah kesetiaan yang tak kan pernah berakhir. Bunga itu menanti sang pujaan yang tak kan pernah datang, tetapi akan hadir sebagai cinta sejatinya. Cinta abadinya, cinta sejatinya untuk kekasih yang selalu dinantikannya. Di sini, di sebuah batas pasar lama yang menjadi nadi kehidupan masyarakat desa, dia tumbuh melayani keindahan sebuah keramaian.Â
Batas pekuburan
Bunga kemboja itu terus tumbuh membatasi desa. Dari kejauhan bunga kemboja itu juga menanda sebuah kesunyian. Di batas pasar lama desa itu, sebuah pekuburan desa berada. Pekuburan tertata rapi tak terkesan menakutkan. Setiap hari, pekuburan itu selalu dibersihkan, selalu ditata, selalu dirapikan, karena pekuburan itu bukan sebagai akhir kehidupan. Di sana, terkadang anak-anak itu bermain, belajar, atau mengerjakan tugas sekolah. Pekuburan itu tidak menakutkan bagi orang-orang desa.Â
Setiap hari pasar itu selalu dipenuhi penduduk-pendudk desa yang bekerja keras menyambung hidup. Tanpak pembeli lalu lalang, tampak penjual asyik menjajakan dagangan. Tawar-menawar dengan suara keras kadang terdengar. Teriakan keras nyaring terdengar. Suasana riuh terusik sampai cahaya pagi menerpa yang datang. Keramaian pasar itu belum juga usai sampai barang-barang habis tanpa bekas.Â
Setiap hari pekuburan itu tampak sunyi, ketenangan suasana si penghuni. Batu-batu nisan kokoh menyokong alam, seolah menyembah Dia , bermadah pada Dia. Pohon kemboja itu tetap tegas berdiri, menyaksikan irama hidup orang-orang desa bekerja. Pohon kemboja itu tetap tegas berdiri menyapa langit mengumandangakan doa untuk mereka yang beristirakat dalam Dia.Â
Kemboja kini,
Hari ini, pohon kemboja itu tidak sendiri. Pasar itu, pagi ini tidak seperti hari-hari yang lalu, tampak sepi; tidak ada pembeli, tidak ada penjual. Sungguh sepi pasar desa itu. Namun, pekuburan yang biasanya sepi itu, hari ini, tampak mulai ada penduduk desa yang datang, bunga di tangan, wewangian ditenteng. Orang-orang desa itu datang dan memenuhi pekuburan.Â
Hari ini, pekuburan itu dipenuhi penduduk desa. Hari ini, pasar itu tiada yang bersua. Suasana desa itu menjadi pertanda akan datangnya hari-hari suci untuk selalu ingat Dia, Sang Pencipta.Â
Pohon kemboja itu, bunga kemboja itu tumbuh dan bermekaran, menyebarkan wangi, menelurusi ruang-ruang di desa itu, menyaksikan kehidupan hari ini dan esok. Bunga kemboja itu menyaksikan kita, hari ini dan esok, ketika semuanya tiba.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H