Laki-laki. Sekali lagi tentang laki-laki. Gagah perkasa, terhormat, pejabat penting, dengan bergudang-gudang harta. Uang menjadi bukti kekuatan sebuah perjuangan sebagai laki-laki. Uang adalah nadi dan roh kehidupannya.Â
Sebagai laki-laki, kebanggaan utamanya adalah harga berlimpah, rumah megah, banyak penggemar, bahkan dikagumi jutaan wanita. Hidup baginya adalah perjuangan, tidak mengenal salah, tidak mengenal murka, tidak memikirkan orang lain. Bagi laki-laki yang biasa mengendarai motor gedhe ini, apapun bisa dilakukan, apapun bisa dikuasai asalkan tidak ketahuan, tertangkap atau dimangsa laki-laki lain. Laki-laki harus berani bak setan kesurupan.Â
Perjalanan laki-laki menyusuri kota tak terhenti. Rumah megah terkumpul di berbagai kota, di berbagi kampung. Jutaan tanah terkumpul di berbagai tempat maha luas. Sertifikat jelas bukan atas namanya. Ribuan nama dipinjam, ribuan nama tergadai. Tanah-tanah itu dia jual untuk menghasilkan cuan-cuan dari tuan-tuan tanah negeri seberang. Pulau-pulau yang berhasil dia beli pun berdiri ibu kota baru, berdiri pabrik-pabrik baru, berdiri nasib-nasib tenaga kerja baru, yang tak terbayar dan penuh siksaan. Laki-laki itu menguasai jutaan umat manusia, membelenggu nasibnya.
Penguasa raya
Untuk istri tercinta dalam selembar kertas, ia serahkan jutaan bisnis, rumah makan, hotel, apartemen, sampai tambal ban dan jualan sayuran. Laki-laki itu tak akan berhenti menguasai, di rumah memang hanya satu istri, tetapi di berbagai penjuru kota hadir selir-selir yang menanti. Pernikahan hanya sebatas syarat sebagai manusia normal dan berharga agar ia dipuja sebagai manusia baik dan berhati mulia.Â
Kepada dunia, dia tunjukkan kerajaannya. Laki-laki itu tak pernah terhenti membanggakan dirinya sebagai penguasa dunia. Laki-laki itu tak pernah terkalahkan oleh siapapun juga. Dia tunjukkan kejantanannya, dia tunjukan murkanya, dia tunjukkan kekuasannya.Â
Laki-laki  tiba-tiba terengkuh dan mengeluh. Anak laki-laki satu-satunya menggila. Anak itu menyiksa tetangga, menyiksa teman-temannya, menyiksa orang yang dijumpai. Anak laki-laki semakin menggila menyusuri jalan-jalan Ibu Kota. Laki-laki itu marah, segala cara dicari. Anak satu-satunya harus sembuh karena dia akan menjadi penguasa selanjutnya. Tetapi, anak laki-laki itu justru semakin menggila, sampai ribuan polisi menanggap dan memasukkannya dalam penjara.Â
Anak laki-laki itu terpenjara, sendiri, tanpa orang tua. Hari ini laki-laki itu menang sendiri, sedih dan tidak bisa berbuat apa-apa. Kebahadiaan yang tak ternilai yang tumbuh dalam anak lakinya hancur lebur. Ia menangis sendiri di sebuah rumah yang hampir hancur dan keropos. Rumah kecil yang dibelinya pertama kali dia mampu membeli dengan cicilan bank. Rumah itu menjadi saksi perjuangannya. Hari ini rumah itu menjadi saksi kehancuran dan ketidakberdayaannya.Â
Resah si laki-laki
Sejak anak laki-laki tercintanya tertangkap dan terpenjara, laki-laki itu gila. Dia selalu mencari sang anak menyusuri jalanan Ibu Kota, tanpa henti. Ia terus mencari. Namun, anak laki-laki satu-satunya tak pernah ditemukan. Sementara wanita yang selalu dianggapnya sebagai istri tak bisa lagi menerimanya. Wanita yang dicintainya pergi entah kemana, ditelan nasib yang membuat keluarga hancur lebur terkikis penderitaan.Â
Perjalanan laki-laki tidak terhenti, mencari anak laki-laki dan istri abadi. Tetapi kesia-siaan terjadi setiap hari. Hinaan mengakhiri kisah hidupnya sebagai penguasa abadi. Laki-laki itu tertidur dan berharap bermimpi. Laki-laki itu berharap bisa bermimpi; bertemu anak tercintanya, bertemu istri terkasihnya.
Perjuangan laki-laki itu belum usai, seperti awal hidup ia memulai. Terus berjalan, mencari mimpi tersembunyi di antara bising dan kerasnya  Ibu Kota. Laki-laki itu tidak sendiri.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H