Harmonis. Keselarasan dan keserasian ini bukan hadiah, dibutuhkan pengorbanan dan saling pengertian. Bahkan tanpa  kepercayaan, tanpa kebijaksanaan, dan tanpa komunikasi yang baik tidak ada keharmonisan. Apalagi latar belakang dan kekuasaan mendominasi sebuah hubungan.Â
Tidak mudah menyatukan sebuah visi, apalagi dominasi politik begitu kuat. Alasan yang terkadang mengemuka adalah ketidakharmonisan hubungan antara antara pejabat satu dengan pejabat yang lain. Sebuah kontradiksi jika menilik kembali fungsi pejabat dalam sebuah negara. Â Â
Salah satu contoh,  mundurnya Wakil Bupati Indramayu, Lucky Hakim. Lucky Hakim adalah kader Partai Demokrat, sementara Nina Agustina adalah kader  Partai PDI Perjuangan. Keduanya mencoba menyatukan visi dalam satu paket Bupati dan Wakil Bupati. Keduanya dilantik menjadi Bupati dan Walikota Indramayu pada 26 Februari 2021. Kalau keduanya harus terpisah dalam paduan jabatan Bupati dan Wakil Bupati rasanya masyarakat patut berprasangka bahwa kedua kader kedua partai tersebut tidak bisa bersinergi.Â
Meskipun dalam masa jabatan dua tahun, keduanya mencoba untuk membangun keselarasan, kepaduan, toh, harus berakhir dengan perpisahan. Pada 8 Februari 2023, Lucky Hakim, mengajukan pengunduran sebagai Wakil Bupati Indramayu. Apapun alasan yang disampaikan Lucky Hakin, banyak yang menduga ada ketidakharmonisan hubungan antara Bupati dan Wakil Bupati, ada ketidakhamonisan antara kedua pejabat tinggi di Indramayu tersebut.Â
Gagal berkolaborasi
Peristiwa ini tidak pertama kali terjadi di Indonesia. Beberapa pejabat publik juga pernah mengundurkan diri hanya gara-gara tidak ada keserasian pikiran dan hati antara keduanya. Â
Pada tahun 2011, Dicky Chandra, Wakil Bupati Garut yang juga selebritis Indonesia secara mengejutkan memilih mengundurkan diri. Tidak ada masalah apapun, tidak ada kegagalan apapun, tiba-tiba pengunduran diri itu terjadi pada Rabu, 7 September 2011. Ketidakharmonisan hubungan Bupati dan Wakil Bupati Garut menjadi penyebab peristiwa itu, dan ternyata kondisi ini memang sudah berlangsung lama.(2)
Wakil Gubernur DKI Jakarta, Prijanto, pun pernah menyatakan undur diri dari jabatannya. Ia mengirimkan surat kepada Menteri Dalam Negeri pada 23 Desember 2011. Namun, pengunduran diri Prijanto itu ditolak oleh DPRD DKI Jakarta pada 6 Maret 2012. Kabar yang beredar,pengunduran diri ini disebabkan tidak adanya peran dan tugas sebagai Wakil Gubernur. Gubernur tidak memberikan wewenang di dalam tugas dan jabatannya.(2)
Pengunduran diri seorang pejabat publik tentunya menjadi berita menarik, bahkan dapat berkembang menjadi isu kebencian, isu pengekangan yang berkembang di berbagai media sosial. Bahkan, terkadang mendorong sinisme warga terhadap pejabat tertentu, terhadap partai tertentu.Â
Seolah-olah pejabat yang mundur karena direndahkan oleh pejabat lainnya. Masyarakat akan bersimpati membela pejabat yang mundur. Inilah yang kemudian memunculkan berbagai praduga bahwa setiap kali seorang pejabat kita mundur tujuannya adalah mendapat simpati dari masyarakat, mendapat belas kasihan dari masyarakat, dan mendapatkan nama besar di mata masyarakat.Â
Terkadang pengunduran diri seorang pejabat diartikan sebagai ketidakmampuan pejabat tersebut untuk membangun relasi dengan pejabat lain. Bahkan, menandai bagaimana pejabat tersebut berelasi dengan masyarakat.Â
Mewujudkan keharmonisan dengan pejabat lain saja tidak mampu, apalagi mewujudkan keselarasan dengan masyarakat. Kondisi ini memang menguntungkan masyarakat. Masyarakat pada akhirnya dapat menilai seperti apa sebenarnya kualitas pejabat—pejabat di daerahnya. Pantaskan mereka dipilih pada pemilu-pemilu berikutnya?Â
Mewujudkan keharmonisan dengan pejabat lain saja tidak mampu, apalagi mewujudkan keselarasan dengan masyarakat. Kondisi ini memang menguntungkan masyarakat. Masyarakat pada akhirnya dapat menilai seperti apa sebenarnya kualitas pejabat—pejabat di daerahnya.
Kita memang belum terbiasa mendengar seorang pejabat publik mengundurkan diri. Pengunduran ini memang beberapa kali pernah terjadi terjadi, tetapi bisanya dikaitkan dengan masalah besar yang dihadapi, misalnya saja korupsi, atau  gagal menjalankan tugas. Pengunduran diri pun bisa terjadi sebagai bentuk santun pemecatan oleh atasan. Kata dipecat sepertinya akan menimbulkan kebencian di mata masyarakat.Â
Namun, beberapa kali pejabat-pejabat di negeri ini mengundurkan diri gara-gara tidak bisa bersinergi. Belum bekerja apa-apa, tiba-tiba mundur begitu saja.Â
Gagal bekerja
Berbeda memang situasinya, jika pejabat mengundurkan diri karena ketidakmampuan dalam mengerjakan dan menyelesaikan tanggung jawab. Beberapa kali terjadi di tanah air, pejabat mengundurkan diri karena merasa gagal dalam bertanggung jawab atas tugas yang diembannya. Sebut saja dua pejabat di Indonesia tersebut; Dirjen Pajak Sigit Priadi Pramudito dan Dirjen Perhubungan Darat Kementerian Perhubungan Djoko Sasono. Sigit mengundurkan  diri  karena  target penerimaan pajak 2015 tidak tercapai,  sementara Djoko juga mengundurkan diri karena merasa tak mampu mengendalikan kemacetan panjang yang terjadi saat libur Natal. (1)
Kebiasaan seperti ini memang tidak hanya terjadi di Tanah Air. Pejabat mengundurkan diri karena kesalahan yang dilakukan, kegagalan dalam mengemban tanggung jawab atau ketidaktercapaian target. Kebiasan mengundurkan diri dari jabatan karena berbagai kegagalan melaksanakan tugas sangat umum terjadi di berbagai negara. Misalnya, Estelle Morris, mengundurkan diri dari Secretary of State for Education and Skills pada 1 Juni 2001, karena target literasi di Inggris tidak tercapai. Menteri kesehatan Taiwan, Chiu Wen-ta mengundurkan diri karena skandal minyak untuk makanan yang terkontaminasi. (1)
Pada tahun 2015, Wali Kota Bucharest, Christian Popescu Piedone mundur karena kebakaran kelab malam yang menewaskan 30 orang. Piedone bersalah secara moral atas kejadian itu. September 2015, Menteri Brooks Newmark, salah seorang menteri di bawah pimpinan PM Inggris David Cameron, juga mengundurkan diri dari kabinet karena kasus pesan-pesan porno. Brooks merasa khilaf dan tidak pantas atas kejadian itu. (1)
Pengunduran diri seorang pejabat memang harus dihargai sebagai keputusan pribadi. Namun, pejabat yang telah terpilih dalam proses pemilu seharusnya menyadari bahwa masalah sinergi dan hamoni tidak bisa menjadi alasan untuk menelantarkan layanan kepada masyarakat, apalagi belum satu pun tugas dan tanggung jawab dikerjakan. Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H