Mohon tunggu...
Ari Indarto
Ari Indarto Mohon Tunggu... Guru - Guru Kolese

Peristiwa | Cerita | Makna

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Raja-Raja Kecil Membungkus Duka

28 Februari 2023   20:45 Diperbarui: 28 Februari 2023   20:46 173
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: Erika Wittlieb - Pixabay

Raja. Pakaian kebesaran itu tiba-tiba terlepas begitu saja. Tergulung di lantai kotor, mahkota pun terjatuh sudah. Laki-laki muda itu pun bertelanjang, terhempas berbagai peristiwa. Lukanya menganga. 

Rakyat marah. Kehadiran raja kecil di setiap batas rumah selalu menghancurkan harapan jutaan warga. Rumah-rumah warga hanya nyanyian sederhana, kemiskinan yang terus terulang sebagai nasih berkepanjangan. Raja kecil muncul sebagai penguasa dengan tangan dan lengan penuh mahkota. Tidak cukup hanya menggantungkan pada kepala, mahkota tercengkaram menjadi butir-butir nasib berkepanjangan. Di dadanya, rakyat sebatas pengisi suara. 

Berkuasa tanpa batas

Raja kecil berkuasa tanpa batas. Ribuan permaisuri lekat terpilih terpaksa tinggal menunggu istana. Begitu muda, sangatlah kentara, sebatas usia tak sirna dan bercahaya. Permaisuri-permasuri menjemput, raja muda turun mengarungi alam semesta, mencari kota dan desa untuk mencengkeram kehendak. Istana bukan sebagai tempat menikmati beragam rasa. Istana menjadi penjara menghunus duka bagi permaisuri. 

Raja mulai berteriak. Mahkota belum cukup. Permaisuri belum cukup. Istana belum cukup. Tanah luas membentang membentuk pulau belum memberinya kenikmatan. Hingga satu per satu pulau diberbagai negeri diraihnya menjadi milik dan berkuasa. Perjalanan penjang menaklukkan pulau-pulau mengerus nasib semua Bangga. Kekayasan hanya menjadi cara untuk dinikmatinya dan menjadi pertunjukan bak sirkus di tengah kota. 

Hari ini, raja kecil itu menjadi penguasa pada tanah-tanah di seluruh negeri. Ketika sampai pada sebuah jalan kecil mengurung pangeran dari negeri seberang. Perkelahian itu belum juga berakhir. Sang pangeran negeri seberang terus melawan. Raja kecil terus-terus menggerus,melawan, menghancurkan. Dengan semakin memerahnya wajah dan tubuh, raja kecil tak henti menggulung tubuh lawan, sempoyongan, dan akhirnya terkapar sudah. 

Tubuh keropos 

Raja kecil berteriak, berlari mengelilingi pangeran dari negeri seberang. Ia terus berlari, tanpa teriakan-teriakan berarti. Kemerdekaannya dirasakan begitu kuat. Kebebasannya diraihnya. Kegembiraan tak bisa terbayang. Berlarilah tubuh itu terus berputar di hadapan pangeran, terus berputar. Sampai akhirnya, tubuhnya tak kuasa menyangga tenaganya yang semakin keropos. Tubuhnya lunglai tak berarti, dan terjatuh dalam dekapan malam gelap.

Sampai akhirnya, tubuhnya tak kuasa menyangga tenaganya yang semakin keropos. Tubuhnya lunglai tak berarti, dan terjatuh dalam dekapan gulita.

Di Pesanggrahan itu, raja kecil terjatuh. Pangeran terjatuh. Sang permaisuri bersuka, mengurung duka. Seolah ada kegembiraan, saat raja kecil dan pangeran lunglai tertelah dekap malam. Cintanya bukan saja berakhir, tetapi cerita-cerita tentang sang raja yang menguasai kota dan rakyat tinggal nestapa. Permasisusi diburu rakyat, dicari rakyat, sampai ke ujung dunia. Permaisuri-permaisuri mencoba hidup dalam persembunyian. Rakyat marah, permasuri dianggap biang segala biang, kedukaan istana-istana. 

Tidak ada yang tersisa di kerajaan singgasana. Raja kecil, pengeran negeri sebarang, dan puluhan permaisuri dilanda duka. Rakyat menghukum pemaisuri, mengusir permaisuri dan menghentakkan luka untuknya. tangisan pecah, menggema di seluruh kota. Hari itu, raja kecil, pangeran negeri seberang dan permaisuri menjadi cerita jutaan rakyat. Kerajaan bumi itu berduka. 

Ada menjadi pertanda

Raja kecil, pangeran negeri seberang, dan permaisuri tidak sendiri. Puluhan raja kecil, puluhan pangeran, dan puluhan permaisuri bersembunyi di antara keramaian kota dan keheningan desa. Selalu ada pertengkaran abadi, selalu ada permusuhan abadi, selalu ada perang abadi. Diantara jutaan duka menganga, jutaan suka gembira selalu ada dendam yang bertepi. Semuanya menuntut kemerdekaan untuk diri. Kebebasan  abadi dalam diri dan tak akan pernah selesai. 

Raja kecil menandai kerdil hati yang tersembunyi. Pengeran itu menyakinkan harga diri yang tak berarti. Permaisuri itu menjadi pertanda kedengkian menguasai. 

Raja-raja kecil akan kembali, seperti pangeran dan permaisuri.  Ada untuk menjadi cerita. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun