Sepak bola. Meski belum menunjukkan prestasi yang berarti, seperti bulu tangkis, sepak bola menjadi sebuah tontonan yang menyajikan ketegangan dan hiburan. Seperti halnya sinetron, drama kesedihan, kegembiraan, bahkan terkadang kekerasan bisa saja tersaji dalam setiap menit pertandingan. Sepak bola selalu menarik, mengusik, dan menegangkan.
Masalah dalam sepak bola sebenarnya bukan hanya masalah pertandingan di lapangan. Jika di lapangan, kerja keras setiap pemain menjadi penentu sebuah kemenangan, di luar lapangan, banyak hal bisa saja terjadi. Judi, misalnya, terkadang terjadi bukan hanya di luar lapangan tetapi juga di berbagai web dan media secara online. Bahkan kolusi, korupsi, nepotisme mungkin saja terjadi dan terkadang tidak hanya melibatkan pemain, tetapi juga wasit, panitia, pengusaha, atau pejabat.
Apalagi kalau kita menilik organisasi sepak bola kita, PSSI. Banyak “drama-drama” terjadi sepanjang berdirinya organisasi ini. Berdiri pada 19 April 1930, dalam usia 93 tahun, belum juga menunjukkan taring yang berarti. PSSI belum sanggup membawa sepak bola sebagai sebuah indentitas olah raga Indonesia. Bahkan prasangka negatif selalu saja muncul dan menjadi santapan setiap kepengurusan.
Prestasi tingkat internasional rasanya masih sebagai mimpi panjang, pun di tingkat Asia. Kita masih dibayangi ketakutan untuk mengalahkan Thailand,Vietnam, dan Malaysia. Selalu saja, kita ditempatkan sebagai tim yang kalah sebelum bertanding. Rasanya mimpi-mimpi kebangkitan prestasi sepak bola Indonesia masih jauh dan akan terus menjadi misteri.
Prestasi cabang olahraga sepak bola di Indonesia dianggap kurang begitu maju dibandingkan dengan prestasi olahraga cabang lainnya. Meskipun antusias masyarakat Indonesia begitu besar terhadap cabang olahraga sepakbola, ternyata tidak sebanding dengan prestasi yang dicapai.
Benang kusut sepak bola
Masalah sepak bola sudah begitu rumit, begitu banyak faktor yang harus diperhatikan dalam upaya pembenahan sepak bola. Bukan hanya terbentur pada masalah sarana dan prasarana yang minim kualitas, tetapi kompetisi yang teratur dan berkesinambungan terkadang sebuah rutinitas yang sulit dipertahankan. Apalagi menilik kualitas pelatih, wasit, panitia penyelenggara, sampai kepengurusan terus-menerus dipertanyakan.
Sepak bola memang membutuhkan sebuah perubahan dalam semua aspek organisasi. Masyarakat menunggu berbagai perubahan. Maka, kepengurusan baru yang terbentuk pascaperistiwa Kanjuruan ini seolah digadang-gadang menjadi titik balik kebangkitan sepak bola Indonesia.
Paling tidak dua tanda kebangkitan itu sudah tampak; Erick Thohir terpilih menjadi ketua Umum PSSI 2023-2027 dan mundurnya Zainudin Amali sebagai Menteri Pemuda dan Olahraga (Menpora) karena terpilih sebagai wakil ketua. Kedua orang menteri akan menjadi jenderal lahirnya PSSI baru. Dua orang menteri akan berkiprah untuk mengurus PSSI.
Tentu ada sesuatu yang sungguh bernilai dan berharga hingga organisasi PSSI membutuhkan dua orang Menteri yang masih aktif menjabat. Tentu saja ada sesuatu yang bernilai juga, sampai-sampai menteri BUMN sekelas Erick Thohir mau mengurusi sepak bola, apalagi sampai seorang pejabat sekelas Zainudin Amali mau mengundurkan diri dari jabatan Menteri Pemuda dan Olahraga.