Detik-detik berkali-kali berulang dalam irama kesenduhan. Waktu berlari secepat peristiwa setiap hari berganti. Sebuah tanda tanpa henti dalam tergambar lewat gerak tiga sahabat sejati. Jam itu tidak pernah mengulang peristiwa yang sama dalam waktu yang berbeda.Â
Waktu selalu memperbaharui dirinya lewat suara nan kaya menjalin peristiwa. Dalam warna gelap terbungkus mengkilat, waktu terus memacu, meski tampak berirama. Belum usai satu peristiwa tergambar dalam periatiwa yang lain. Apalagi dalam bingkai kenangan dalam jam penuh keistimewaan. Jam ini dibeli dengan keringat sendiri, perjuangan nan tak kunjung padam, berhari-hari, berminggu-minggu, bahkan berbulan-bulan. Aku tidak bisa membeli tanpa mengumpulkan bertetes-tetes keringat.Â
Jam itu menunjukkan waktu, bukan menunjukkan kesedihanku. Meski kadang mereka yang berpunyai menganggapnya sebagai penanda kepunyaan dan keinginan. Aku menandai jam itu sebagai kenangan, bukan menandai bahwa apa yang kita punya bisa melumpuhkan sekitar hidup kita.Â
Teman sejati
Sekian lama jam itu selalu menemani tangan kiri. Terpasang erat dan begitu lekat, jam itu seolah tak mau terlepas. Ketika aku berlari, jam itu berlari mengikutiku. Ketika aku sejelak terdiam, dia seolah menganggapku sebagai tuan. Jam itu menjadi aku yang hadir dalam setiap waktu dan peristiwa nyata. Bukan hanya di rumah kecil, di jalan meski tanpa tujuan, ataupun di tempat kerja. Jam itu hadir sebagai rekan yang erat mendekap.Â
Karena jam ini begitu murah  dan dibeli tidak di mal atau tempat berkelas, aku mencoba setia. Dia tetap menjadikanku sebagai kolega setia. Ya, begitu murah, bahkan tanpa harga. Tetapi jam itu ada karena bertetes-tetes kehidupan nyata. Dalam detik-detik yang hadir pasti itu, jam itu murah dan palsu.Â
Jam itu palsu. Meski dibeli dengan harga seribu dan hanya puluhan ribu, kehadirannya tepat menandai waktu. Jam itu belum pernah salah, belum pernah menyusahkan kolega. Jam itu selalu menandai waktu, bukan memandai kebahagiaanku. Namun, kebahagiaan itu terlahir karena setiap peristiwa terbaik hadir bersama jam palsu dan istimewa.Â
Jam ini memang palsu. Aku tahu, banyak jam sama harga berbeda. Sama, serupa, tapi berbeda. Harga menjulang dalam setiap karya. Asli puluhan juga, palsu puluhan ribu. Kesenjangan yang tak padam di tengah  kerja keras empunya. pagi-pagi berangkat, jam itu menemaninya. Malam hari pulang, jam itu menjadi kawan setia. Dimanapun ada, jam itu menemani menjadi cerita dan peristiwa.Â
Jam ini benar-benar palsu. Beli di Tukang loak, barang bekas. beli di tukang jam, dalam harga sebatas harga beras kiloan. Murah, mungkin tanpa harga bagi si kaya. Ya, meski benar-benar palsu, jam ini menjadikanku gembira. Aku bisa melihatnya ketika bangun. Aku bisa memandanginya ketika duduk terdiam. Aku bisa menghadirkan harapan datangnya kebahagiaan nyata. Jam itu menandai setiap peristiwa bukan kebahagiaan.
Menandai kebahagiaan