Proses pengembangan karakter harus terus membiasakan kejujuran dalam berbagai proses penilaian. Proses pendidikan bukan sekadar menghasilkan angka-angka dalam laporan nilai semata, tetapi  harus mengarahkan siswa pada kesadaran bahwa menyontek bukan sebagai alternatif cara untuk sukses.Â
Pendidikan tidak dapat dilepaskan dari proses penilaian. Tidak terbatas pada evaluasi kemampuan kognitif anak, Â evalusi pembelajaran menyasar keterampilan dan sikap. Salah satu tugas guru yang begitu dominan adalah menguji kompetensi siswa dalam berbagai aspek.Â
Mendekati rapor harus dibagi, siswa bisa jadi dipenuhi dengan berbagai evaluasi. Ulangan ini, ulangan itu tanpa henti. Bahkan, seharian akan dipenuhi dengan berbagai ulangan atau tugas-tugas. Inilah yang kemudian memunculkan model belajar kebut semalam. Belajar menjelang ulangan, belajar hanya selama ujian.Â
Seharusnya ujian atau ulangan tidak dimaksudkan hanya menguji aspek kognitif saja. Ada aspek keterampilan dan juga sikap yang menjadi inti evaluasi. Sekolah harus memberikan ruang untuk setiap anak menempa diri, bukan sebatas kognitif saja.
Anak musti sanggup bertahan dalam berbagai tekanan, anak harus musti bisa bersikap, memilah mana yang menjadi prioritas, anak harus bisa membagi waktu yang ada. Bukan hanya 7 jam di sekolah, tetapi sekian jam di rumah. Maka, anak dianggap cerdas jika mendapatkan nilai yang sangat pantas. Sementara waktu bermain dan bersosialisasi ia pertaruhkan untuk belajar.Â
Di kota besar seperti Jakarta, tuntutan seorang pelajar begitu berat. Di sekolah dituntut untuk tuntas dalam beragam kemampuan. Puluhan bidang studi harus disantap. Tugas-tugas berlanjut tanpa henti, serta PR terus-menerus diberikan setiap guru dan setiap bidang studi.Â
Siang malam kerja keras dengan batas waktu yang begitu ketat. Sementara di rumah, orang tua menuntut untuk terus berprestasi. Beragam kegiatan harus diikuti semacam les bahasa, les musik, les bermacan bidang studi, atau les persiapan masuk perguruan tinggi. Semua harus dikerjakan dan semuanya harus berhasil.Â
Tantangan yang sebenarnya membuat tertekan begitu banyak siswa. Dibutuhkan kecerdasan yang ekstra agar seluruh tugas dapat terselesaikan.Â
Namun, apakah setiap siswa sanggup menjalani seluruh tantangan ini?Â
Akar Ketidakjujuran
Begitu banyak anak yang takut gagal, takut tidak mendapatkan nilai yang diimpikan, atau takut tidak mendapatkan target yang diberikan orang tua.Â
Pada akhirnya membuat anak tidak mampu memahami kekuatan diri. Segala cara harus dicari agar ia dianggap sebagai orang berhasil.Â
Maka, menyontek seolah memberikan kesempatan terbaik untuk menunjukkan kemampuan diri. Menyontek menjadi cara tersebunyi membuktikan bahwa keberhasilan dapat dicapainya dengan begitu mudah dengan cara murah. Kondisi ini akan semakin lengkap, jika minim kebiasan untuk berusaha. Cara mudah mendapatkan pengakuan adalah menyontek. Â
Menyontek menjadi cara tersebunyi membuktikan bahwa keberhasilan dapat dicapainya dengan begitu mudah dengan cara murah. Kondisi ini akan semakin lengkap, jika minim kebiasan untuk berusaha. Cara mudah mendapatkan pengakuan adalah menyontek. Â
Ketidaksiapan seorang anak untuk berkompetisi begitu juga yang membuat menyontek menjadi jalan untuk meraih hasil baik.Â
Apalagi dorongan teman-teman lain untuk menyontek begitu kuat. Situasi ini akan semakin lengkap jika suasana sekolah tidak kondusif, sekolah memberikan kesempatan leluasa untuk melakukan kecurangan, misalnya tidak adanya aturan menyontek, memberikan kebebasan saat ulangan, menyontek didiamkan saja, atau malah memberikan bantuan anak untuk mengerjakan soal dan tugas. Ada kesempatan di sekitar, tidak mau berusaha dan lemahnya daya juang menjadi pemicu sontek-menyontek terjadi.Â
Sebenarnya sejak mulai belajar, seorang anak selalu dihadapkan pada proses meniru.Â
Anak tumbuh dan belajar melalui proses meniru apa yang dilakukan orang tua, meniru apa yang disampakan tetangga, meniru apa yang diajarkan guru, meniru apa yang dilihatnya diberbagai media sosial. Proses alami yang sebenarnya selalu dilalui seorang anak. Anak terbiasa dengan meniru, meniru dari berbagai media, termasuk telepon pintar. Â
Meniru pun sebagai sebuah bagian dari proses belajar seorang anak. Apakah proses ini tidak terhenti ketika anak menuju kedewasaan?Â
Kesadaran dalam Kedewasaan
Jika kesadaran tak pernah tumbuh, proses ini akan berlanjut sampai seorang anak dewasa, bahkan sampai bekerja. Apalagi teknologi memudahkan segalanya terjadi.Â
Perkembangan teknologi informasi yang begitu pesat membuat kegiatan menyontek terkadang begitu sulit untuk ditelusur atau dibuktikan. Â
Dua puluh tahun yang lalu, menyontek dapat dilakukan dengan menuliskan materi tes di secarik kertas, di bagian tubuh tertentu, di catatan yang disembunyikan di laci meja, menuliskan materi di meja, menuliskan materi di tembok sekolah, atau menuliskan materi di baju atau sapu tangan.Â
Tapi kini, menyontek semakin canggih; bisa dilakukan melalui telepon pintar, jam digital, kamera mini, baju berkamera, pulpen canggih, atau kacamata berkamera yang terkoneksi dengan pihak lain yang membantu.Â
Beberapa bulan yang lalu, tersebar sebuah berita bagaimana seorang mahasiswa di India menyontek dengan menggunakan wig untuk menyembunyikan kamera dan headphone kecil di telinganya, dihubungkan dengan orang lain yang membantunya selama ujian.Â
Bisa jadi, hari ini kegiatan menyontek semakin canggih dan tak bisa terdeteksi, apalagi guru dan sekolah tidak memahami teknologi masa kini. Â
Kesempatan dan teknologi yang memungkinkan seluruh proses ujian tidak dilaksanakan dengan kejujuran  harus benar-benar dienyahkan. Sekolah harus benar-benar tegas mengatasi kebiasan menyontek.  Karena sikap dan kebiasan yang dibangun selama di sekolah  akan menentukan cara hidup di masyarakat.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H