Jakarta membutuhkan angkutan umum yang aman dan nyaman. Merintis angkutan umum untuk Jakarta memang tidak mudah. Gubernur satu dan Gubernur yang lain berganti, rasanya angkutan umum Jakarta belum ramah penumpang, apalagi ramah anak, ramah wanita, ramah orang tua dan ramah kaum difabel.Â
Langkah langkah untuk mewujudkan angkutan Jakarta yang nyaman berkali-kali dilakukan. Trem, kereta api, bus, angkutan kota angkutan sekolah, bahkan MRT, ataupun LRT selalu dicoba untuk diaplikasikan untuk mengatasi kemacetan Jakarta. Kemacetan yang semakin hari semakin tidak bisa diduga, kemacetan yang serta merta meningkatkan emosi si pengguanya.Â
Melihat langkah-langkah perbaikan berbagai angkutan umum Jakarta, rasanya perubahan, peningkatan, pengembangan dan perbaikan angkutan kereta api listrik begitu kentara, bahkan cenderung begitu istimewa.
Bagaimana tidak? Meski rencana pengadaan angkutan kereta listrik sudah ada dimulai sejak jaman Belanda, namun baru pada tahun 1972, kereta listrik mulai muncul kembali setelah pada tahun 60-an sempat dihentikan dan tidak digunakan karena dianggap sebagai biang keladi kemacetan Jakarta.Â
Sejak tahun 1972 itulah kereta listrik mulai berbenah. Pada tahun 2008 dibentuk PT KAI Commuter Jabodetabek (KCJ), yang fokus pada pengoperasian jalur kereta listrik di wilayah Jabotabek yang melayani sampai 37 rute kereta.
PT KCJ memulai proyek modernisasi angkutan KRL pada tahun 2011. Rute disederhanakan menjadi 5 rute utama, KRL komuter ekspres ditiadakan, pengadaan gerbong khusus wanita, pengadaan tempat duduk khusus wanita hamil, anak-anak, orang tua dan kaum difabel.
Pada tahun 2017, PT KAI Commuter Jabodetabek berganti nama menjadi PT Kereta Commuter Indonesia (KCI). Mulai saat itulah fokus perbaikan seluruh sarana dilakukan.Â
Berbagai jenis KRL didatangkan terutama dari Jepang. Semakin baik, nyaman dan modern. KRL yang digunakan tahun 1997 termasuk sebagai salah satu KRL yang modern dibandingkan sebelumnya. Kereta yang diproduksi berkat kerjasama PT INKA dengan Hitachi berteknologi Variable Voltage Variable Frequency-Insulated Gate Bipolar Transistor (VVVF-IGBT); ketika mulai bergerak yang sangat halus dan tidak menyentak. Setelah itu, KRL nan canggih mulai menggantikan KRL sebelumnya berkat hibah dan kerjasama dengan pemerintah Jepang.Â
Mengenang KRL Masa Lalu
Menikmati KRL dari tahun ke tahun, seperti halnya menikmati sejarah peradaban Kota Jakarta. Tahun demi tahun perkembangan perkeretalistrikan ini begitu berubah.
Memang waktu 25 tahun bukan waktu yang pendek, namun sebuah usaha untuk memperbaiki angkutan Jakarta khsusnya kereta memang harus terus-menerus dilakukan.Â
Membandingkan KRL hari ini dengan 25 tahun yang lalu memang sungguh perbedaan yang mencolok. Tahun 1996, KRL menjadi trasportsi alternatif perjalanan Bekasi-Jakarta. Meski KRL cukup banyak, namun penumpang belum memilihnya sebagai angkutan utama.
Masalahnya bukan hanya kenyamaan yang minim, keamanan pun tidak dijamin. Bagaimana tidak? Di dalam kerena begitu sesak dan beedesak-desakan banyak ditemui pengamen, banyak penjual dan penjaja makanan, gerbang tidak pernah ditutup, bahkan ruang masinis pun biasa di-booking penumpang. Sebuah kondisi yang dapat dikatakan memprihatinkan. Tapi apa mau dikata, pilihan transpartasi yang paling murah saat itu hanya KRL.
Dengan abonemen bulanan yang hanya 4 ribu rupiah, perjalanan 30 hari pun tidak perlu dipikirkan. Apalagi begitu mudahnya kita berbuat curang; sembunyi kalau diperiksa, menggunakan kartu beberapa bulan lalu yang penting warnanya sama, atau cipia-cipiki dengan kondektur. Semua bisa diatur hanya demi murahnya kita mendapatkan biaya.Â
Ketika kita terhimpit dan terdesak tak bisa bernapas, tidak ada yang berani mengeluh, tidak ada yang berani teriak apalagi ketika dilecehkan. Terlebih jika terjadi pada anak atau wanita. "Ya, kalau tidak mau didesak-desak, dicolek-colek, ya jangan naik kereta".
Sebenarnya kereta saat itu adalan moda yang cepat, hanya saja tiap hari mesti berdesak-desakan atau bahkan sikut-sikuran. Ketika kita memang berhimpitan, tidak ada yang berani mengeluh, tidak ada yang berani teriak apalagi ketika dilecehkan. Terlebih jika terjadi pada anak atau wanita. "Ya, kalau tidak mau didesak-desak, dicolek-colek, ya jangan naik kereta".
Kurang lebih begitulah kata-kata penumpang. Rasanya sungguh menjadi pengalaman yang menjijikkan bagi banyak perempuan. Tidak heran, jika hanya kata diam yang bisa penumpang lakukan.Â
Di dalam kereta pun tidak ada yang menjaga, tidak ada keamanan. Kalau terjadi pencopetan, ya, kita hanya bisa diam, atau kalau mau lapor setelah sampai stasiun tujuan. Itu pun tidak akan dilakukan tindakan.
Maka, menjadi penumpang musti cerdas, kapan musti masuk kereta, dimana mesti mengamankan diri, bagamana musti keluar. Ketika kereta datang, siap-siap di depan. Dan dalam sekejap kereta itu pun penuh dengan penumpang. Jika beruntung, duduk dan berdiam diri. Abaikan segala situasi.
Jika tidak, cepat lagi cari sambungan antargerbong dan berdiam diri sampai di tempat tujuan, aman juga dari kontrol petugas. Begitulah setiap kereta datang rasanya segala macam strategi musti dilakukan.
Situasi stasiun begitu ramai, bukan hanya oleh calon penumpang dan pelanggan kereka api, tetapi lebih banyak pendagang-pedagang makanan dan pedagang yang siap kerja di dalam kereta.
Semuanya berpadu dalam irama kereta. Pemandangan yang sudah biasa, begitu banyak penumpang yang baik di atas gerbong, bergantungan di pintu gerbong.
Sebuah pemandangan yang terlihat mencengangkan, seolah penumpang-penumpang itu mempunyai kekuatan superman untuk terbebas dari celaka.
Tidak jarang tawuran pelajar selalu menghampiri, pelajar diburu sampai gerbong, dan kereta dilembari beragam benda, bukan hanya batu, tanah, air comberan, bahkan lemparan kotoran manusia. Peristiwa begitu nyata dan kentara. Penumpang tidak bisa berbuat apa-apa, kecuali hanya diam dan sebisa mungkin menghindar dari berbagai macam celaka.Â
Perubahan-demi peribahan terjadi. Kereta api Jakarta yang dulu hanya jadi cerita kontradiksi, pada akhirnya berubah. Kereta diperbarui, kondisi gerbong mulai rapi, stasiun dibangun dan direnovasi. Sebuah perubahan yang menandai bahwa kepedulian perusahaan pada penumpang dan pelanggan harus menjadi nomor satu.Â
Sekarang, meski kondisi berbeda. Meski kadang masih berdesak-desakan, namun cukup cukup nyaman. Karena dengan kereta kita sampai kantor tetap waktu.
Kita bisa melihat bagaimana stasiun-stasiun dibangun; rapi, nyaman dan tidak membosankan untuk sekadar tempat jalan-jalan. Meskipun dari waktu ke waktu jumlah penumpang juga semakin menggila.Â
Kesigapan petugas begitu kentara, kenyamanan di dalam kereta begitu terasa, dan begitu mudahnya kita melaporkan jika terjadi berbagai tindakan yang membuat penumpang tidak nyaman. Petugas sigap melakukan.Â
Sekarang kita melihat bagaimana orang tua, anak-anak, ibu hamil dan kaum difabel begitu dimanusiakan, ada tempat khusus untuk mereka. Bentuk-bentuk layanan yang sebenarnya sangat sederhana. Inilah yang terus membedakan transportasi kereta api dengan jenis lainnya.
Semoga langkah-langkah bijak industri kereta api ini akan menjadi cara untuk mewujudkan transportasi umum yang manusiawi dan berkeadilan, siapapun bisa naik dalam derajat yang sama.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H