Salah satu produk budaya nusantara yang diadopsi dari produk budaya luar adalah cerita pewayangan. Jamak kita ketahui bahwa seni wayang, salah satunya wayang kulit adalah produk budaya yang lahir dan berkembang di nusantara, khususnya di Jawa sejak akhir era Demak sampai awal Mataram Islam sebagai buah dari pengembangan wayang beber yang lebih dulu ada namun dirasa terlalu ribet dan kurang praktis saat dipentaskan.Â
Berbeda dengan wayang kulit yang figur - figur dalam cerita dibuat dalam sebuah karakter sendiri-sendiri, maka dalam wayang beber, figur-figur wayang digambarkan dalam sebuah adegan cerita di sebuah lembaran-lembaran kulit. Sehingga setiap lembar wayang beber merupakan sebuah episode dari keseluruhan cerita yang dipanggungkan.
Yang paling populer digelar dalam pagelaran wayang kulit adalah dua wiracarita dari tanah India, Mahabharata dan Ramayana. 2 epos besar yang bertahan ribuan tahun dan kisahnya menyebar luas jauh dari tanah kelahirannya sampai ke tanah nusantara.Â
Mahabharata adalah kisah tentang konflik antara para pangeran dari wangsa Bharata yang berebut hak atas tahta kerajaan Astinapura. Sementara Ramayana adalah kisah perang antara pangeran yang terusir dari tahtanya dengan seorang raja besar yang menculik istri sang pangeran.
Kisah asli dua epos besar itu mirip dengan perhelatan perang perebutan kekuasaan di era saat ini yang berwujud dalam pertempuran tanpa senjata yang diwujudkan dalam sebuah sistem pemilihan langsung. Di semua platform media, publik disuguhi terkait perang kata-kata para "pangeran" dan "hulubalangnya" guna memenangkan tahta kekuasaan.Â
Berbagai janji manis ditebar seperti jaring yang dilemparkan para nelayan guna mendapatkan ikan di lautan. Dari hiruk pikuk pertempuran model baru itu, semua bermuara pada kepentingan para elit, siapa mendapat apa, kapan dan bagaimana, demikian konon seorang bijak pernah berujar tentang dunia politik kekuasaan.
Sangat jarang, atau bahkan tidak pernah, kita temukan dalam berbagai cerita epos besar itu yang menceritakan tentang bagaimana peri kehidupan rakyat di Astina atau di Ayodya yang berasal dari para rakyat sendiri, yang ada hanya cerita dari para elit yang mengisahkan tentang betapa makmurnya kerajaan-kerajaan yang ada.
Wayang, kemudian mengadaptasi kisah dari dua epos tadi dengan memunculkan tokoh-tokoh baru, yang mewakili para rakyat, tokoh yang kemudian kita kenal dengan istilah punokawan atau ponokawan. Punokawan, atau ponokawan, yang terdiri atas empat tokoh pengundang tawa adalah asli produk budaya nusantara.Â
Dalam pertunjukan wayang, kemunculan punokawan disebut dengan episode goro-goro, yaitu epusode guyonan yang menceritakan tentang kondisi sosial masyarakat yang mencerminkan kondisi aktual yang terjadi di tengah masyarakat.
Adegan goro-goro biasanya ditaruh di tengah pagelaran wayang ketika cerita tentang para pangeran sudah membosankan. Ketika adegan perang dan pertempuran sudah tidak lagi  menarik, monoton. Para penonton menjadi mengantuk karena sudah malam dan lelah. Ketika suluk, gending, dan tabuhan tidak lagi menghibur, maka perlu tambahan adegan humor. Maka goro-goro pun digelar dengan kelucuan para punokawan.
Punokawan adalah hiburan dalam hiburan. Pagelaran wayang adalah hiburan, tetapi jika figur para pangeran dan raden itu monoton karakternya, karenanya pagelaran wayang yang ditujukan sebagai media hiburan bakal kehilangan humornya. Para pangeran dan raden tentu tidak bisa dipinjam untuk mengungkapkan keluh kesah yang dirasakan para penonton.Â