Mohon tunggu...
ari imogiri
ari imogiri Mohon Tunggu... Administrasi - warga desa

suka aja mengamati berita-berita politik

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Perang Diponegoro, Tanam Paksa dan Politik Etis

11 November 2022   22:07 Diperbarui: 11 November 2022   22:20 2156
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Berakhirnya perang Diponegoro di tahun 1830 setelah berlangsung selama 5 tahun membawa malapetaka besar untuk penduduk Jawa khususnya Jawa Tengah, banyak wilayah diambil ke tangan Belanda dari kekuasaan Kasultanan dan Kasunanan sebagai ganti atas biaya perang. Setelah jatuh ke tangan Belanda wilayah-wilayah tersebut tidak lagi berada di bawah kekuasaan kerajaan-kerajaan yang tersebar di seluruh tanah Jawa. Namun dibagi menjadi beberapa Karesidenan - Kabupaten - Distrik untuk mengakomodasi kepentingan Kolonial Belanda dalam mengeksploitasi sumber daya alam dan sumber daya manusia. Hal tersebut dikarenakan memang Perang Diponegoro menghabiskan biaya yang sedemikian besar sehingga menguras kas Kerajaan Belanda yang memang kondisinya sedang menipis. Tak kurang dari 20 juta gulden harus dikeluarkan dari kas kerajaan Belanda untuk ongkos Perang Diponegoro yang berlangsung selama 5 tahun tersebut.


Gubernur Jenderal van den Bosch pada tahun 1830 akhirnya meluncurkan sebuah kebijakan yang disebut dengan nama cultuurstelsel, namun kemudian lebih kita kenal dengan sebutan Tanam Paksa,  yang isi dari kebijakan itu adalah mewajibkan setiap desa menyisihkan sebagian tanahnya (20%) untuk ditanami komoditi ekspor yang memang sangat dibutuhkan pasar dunia, khususnya kopi, teh, tembakau, tebu, dan nila. 

Hasil tanaman ini akan dijual kepada pemerintah kolonial Belanda dengan harga yang sudah ditentukan dan hasil panen diserahkan kepada pemerintah kolonial Belanda. Sedangkan penduduk desa yang tidak memiliki tanah pertanian dikenakan kewajiban untuk bekerja 75 hari dalam setahun (20%) pada kebun-kebun milik pemerintah kolonial. Tanam Paksa ini diluncurkan oleh Pemerintah kolonial Belanda dengan tujuan untuk mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya dari negeri jajahan untuk mengisi kas Belanda yang kosong akibat perang serta untuk membayar utang-utang Belanda.


Sistem Tanam Paksa yang dilaksanakan pasca Perang Dipinegoro tersebut akhirnya memang terbukti mampu memberikan keuntungan yang sangat besar bagi pihak Pemerintah kolonial Belanda. Namun sebaliknya bagi rakyat di nusantara yang dikenakan kewajiban tanam paksa akibatnya sangat buruk. Rakyat semakin menderita dikarena kan memiliki beban yang sangat berat sebab harus menyerahkan sebagian tanah dan hasil panennya, mengikuti kerja rodi dan juga membayar pajak. Efek lain adalah munculnya berbagai wabah penyakit serta kelaparan yang berkepanjangan karena kesejahteraan yang tidak tercapai akibat tidak mempunyai penghasilan yang cukup sehingga akibatnya kemiskinan yang semakin meluas di tengah masyarakat.


Setelah sekian lama, akhirnya muncul suara-suara penentangan terhadap sistem tanam paksa tersebut. Salah satu yang bersuara keras adalah Eduard Douwes Dekker dengan nama samaran Multatuli yang menulis sebuah buku untuk memprotes sistem tanam paksa yang sangat terkenal yaitu Max Havelaar yang menceritakan kondisi masyarakat petani yang menderita akibat tekanan pejabat Hindia Belanda. 

Setelah banyak protes dari orang-orang Belanda, termasuk politisi Belanda, van Deventer, yang menggagas adanya Politik Etis atau Politik Balas Budi, yaitu suatu pemikiran yang menyatakan bahwa pemerintah kolonial Belanda mempunyai tanggung jawab moral bagi kesejahteraan rakyat di tanah jajahan.

Akhir di tahun 1901 Kerajaan Belanda resmi menghentikan sistem tanam paksa dan meluncurkan 3 program sebagai perwujudan politik etis, yaitu program irigasi, edukasi dan emigrasi yang di kemudian hari lebih dikenal dengan istilah Trilogi van Deventer.

Salah satu dari Trilogi van Deventer yang berefek positif bagi perjuangan melawan penjajahan Belanda adalah edukasi. Program edukasi yang diberikan dalam Politik Etis atau Politik Balas Budi meski sebenarnya ditujukan untuk kepentingan kolonialisme, namun nyatanya mampu melahirkan kaum terpelajar yang kemudian mengawali era pergerakan nasional dengan mendirikan berbagai organisasi yang berjuang melalui pemikiran, pengetahuan, hingga politik dengan membentuk berbagai organisasi seperti Boedi Oetomo, Sarekat Islam, Indische Partij, dan lain-lain yang berujung pada perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia.

Sehingga dari rentetan awal sampai akhir, bisa dibilang bahwa Perang Diponegoro adalah hulu dari kemerdekaan Indonesia. Gara-gara Perang Diponegoro-lah Kerajaan Belanda nyaris bangkrut, lalu untuk mengisi kas kerajaan muncullah sistem tanam paksa. Kemudian akibat tanam paksa muncul Politik etis. Akibat politik etis orang-orang bersekolah. Akibat bersekolah kemudian muncul kaum terdidik, yang ujungnya adalah Kemerdekaan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun