Mohon tunggu...
ari imogiri
ari imogiri Mohon Tunggu... Administrasi - warga desa

suka aja mengamati berita-berita politik

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Pajang, antara Bhumi Pajang, Pengging, dan Kerajaan Pajang

23 April 2022   18:27 Diperbarui: 23 April 2022   18:31 868
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Seri Sejarah

Saat ini istilah blusukan menjadi satu kata yang menggambarkan tentang kunjungan dari kepala negara ke daerah-daerah. Hal yang sejak dulu sudah dilakukan oleh kepala negara terdahulu. Di masa Orde Baru istilah yang sering digunakan adalah turba yang merupakan akronim dari turun ke bawah.

Jika menelisik ke masa lampau, turba ataupun blusukan atau yang serupa dengan itu sebenarnya telah dilakukan oleh penguasa atau pejabat kerajaan di era nusantara masih terdiri atas berbagai kerajaan. Penguasa itu biasanya tak datang sendirian, namun disertai anggota keluarga kerajaan, para bangsawan dan para pejabat pemerintahan. Perjalanan inspeksi yang demikian misalnya dilakukan oleh maharaja Hayam Wuruk beserta rombongan sebagaimana tercantum dalam kitab Negarakertagama yang ditulis oleh mPu Prapanca.

Nah, di tulisan kali ini kita akan membicarakan tentang satu daerah yang menjadi tujuan dari kunjungan pertama kali Raja Hayam Wuruk, yang dilakukan pada tahun 1355 M, yaitu Bhumi Pajang.
Di manakah Bhumi Pajang tersebut? Bhumi Pajang adalah sebutan untuk daerah yang di masa kini dikenal dengan istilah Solo Raya, sama dengan menyebut Bhumi Mataram adalah sebutan untuk daerah yang sekarang meliputi wilayah Provinsi Yogyakarta.

Sebagai salah satu dari wilayah bawahan Majapahit, Pajang juga dipimpin oleh seorang batara ri atau bhre, yang ditunjuk oleh raja dari sekian kerabatnya. Untuk mempermudah, kita sebut saja batara ri atau bhre itu dengan istilah adipati.

Nah, berikut adalah para kerabat raja Majapahit yang pernah menjadi adipati di Bhumi Pajang.
1. Dyah Nrtaja Rajasaduhita Iswari, yang merupakan adik dari Raja Hayam Wuruk
2. Dyah Suhita, cucu dari Dyah Nrtaja, anak dari Wikramawardhana, yang pasca perang Paregreg kemudian naik tahta menjadi Ratu di Majapahit
3. Dyah Sureswari, keponakan dari Dyah Suhita, cucu Wikramawardhana, anak dari Manggalawardhana yang menjadi adipati/bhre di Tumapel.

Dari nama-nama yang menjadi adipati/bhre di Pajang kesemuanya adalah kerabat perempuan dari Raja Majapahit, ini menarik, karena terjadi di era kerajaan, yang biasanya selalu mendahulukan kerabat laki-laki untuk menduduki suatu jabatan, apalagi jabatan penguasa suatu wilayah.

Dari berbagai wilayah inti di kerajaan Majapahit sebagaimana yang tertulis di Prasasti Waringin Pitu tercatat hanya ada 2 wilayah yang kesemua penguasanya (bhre) adalah perempuan, yaitu Pajang dan Lasem. Sementara untuk wilayah lain, mayoritas adalah laki-laki.

Kembali ke Pajang, pasca surutnya kerajaan Majapahit, dan kemudian muncul dan berkembangnya kerajaan-kerajaan baru yang berasal dari wilayah yang melepaskan diri dari Majapahit, maka kemudian nama Pajang pun pelan-pelan tenggelam.

Nama Pajang kemudian muncul lagi di era akhir kerajaan Demak, saat pemerintahan dipegang oleh Sultan Trenggana. Pajang menjadi sebuah kadipaten, atau wilayah bawahan Demak, dengan adipatinya adalah Joko Tingkir, menantu Sultan Trenggana.

Dalam berbagai kisah babad dan cerita kethoprak, diceritakan bahwa Joko Tingkir adalah anak adipati Pengging terakhir yaitu Kebo Kebongo. Neneknya dikisahkan adalah anak dari Brawijaya V, Retno Pembayun, yang menikah dengan Andayaningrat dari Semangi, yang setelah menikah dengan Retno Pembayun lalu diangkat oleh Brawijaya V menjadi adipati di Pengging.

Dari berbagai catatan sejarah, seperti kita ketahui bahwa tidak ada raja Majapahit yang bernama Brawijaya, apalagi sampai Brawijaya V. Lalu siapakah Retno Pembayun, nenek Joko Tingkir tersebut?

Jika kita coba cocokkan dengan daftar penguasa Pajang dari berbagai prasasti dari Majapahit, maka ada kemungkinan Retno Pembayun adalah Dyah Sureswari, cucu Wikramawardhana yang berarti adalah sepupu dari raja pertama Demak, Raden Patah, karena ayah dari Dyah Sureswari, yaitu Bhre Tumapel Manggalawardhana adalah saudara dari ayah Raden Patah, Raja Kertawijaya.

Maka tidak heran jika setelah mengalahkan kebo danu, yang membuat kerusuhan di ibu kota Demak, kemudian Joko Tingkir lalu dijadikan menantu oleh Sultan Trenggana dan diangkat sebagai adipati di kadipaten Pajang, yang merupakan wilayah kekuasaan leluhur Joko Tingkir sendiri. Dan sepeninggal Sultan Trenggana yang mangkat di Pasuruan ketika mencoba menaklukkan Bhumi Blambangan, ketika terjadi ontran-ontran saling berebut tahta Demak, maka akhirnya Joko Tingkir yang dibantu oleh 3 perwira prajurit  dari Selo, kemudian naik tahta di kerajaan baru, yaitu kerajaan Pajang, dan Demak berubah dari pusat kerajaan menjadi wilayah bawahan dari Pajang.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun