Pembunuhan Massal Gerakan 30 September dan Kudeta Soeharto (ditulis John Roosa, diterbitkan Institut Sejarah Sosial Indonesia dan Hasta Mitra),
Suara Gereja bagi Umat Penderitaan Tetesan Darah dan Cucuran Air Mata Umat Tuhan di Papua Barat Harus Diakhiri (ditulis Socratez Sofyan Yoman, diterbitkan Reza Enterprise),
Lekra Tak Membakar Buku Suara Senyap Lembar Kebudayaan Harian Rakyat 1950-1965 (ditulis Rhoma Dwi Aria Yuliantri dan Muhidin M Dahlan, diterbitkan Merakesumba Lukamu Sakitku),
Enam Jalan Menuju Tuhan (ditulis Darmawan, diterbitkan Hikayat Dunia), dan
Mengungkap Misteri Keragaman Agama (ditulis Syahruddin Ahmad, diterbitkan Yayasan Kajian Alquran Siranindi).
Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung Didiek Darmanto menjelaskan, larangan terbit atas lima judul buku tersebut ditujukan kepada penerbit. Penerbit tidak boleh lagi menerbitkan dan mengedarkan buku-buku itu. ”Kalau yang sudah beredar, kami minta kepada penerbit agar ditarik,” katanya. Menurut Didiek, buku-buku tersebut dilarang karena melanggar ketertiban umum, tanpa menjelaskan apa yang dimaksud dengan melanggar ketertiban umum itu seperti bagaimana.
belum hilang kekagetan kita dengan larangan yang dilakukan oleh Kejakgung itu, yang mengingatkan kita pada model pelarangan buku jaman orde baru yang silam, muncul sebuah berita lain yang tidak cukup menghebohkan, yaitu ditariknya buku Membongkar Gurita Cikeas: Di Balik Skandal Bank Century yang ditulis George Junus Adijtondro dari peredaran yang konon dikarenakan pihak toko buku mendapat telepon dari pihak yang tidak dikenal yang memerintahkan pihak toko buku untuk menarik buku itu dari peredaran.
yang jadi pertanyaan adalah pihak tidak dikenal manakah yang mampu memerintahkan sebuah toko buku untuk menarik sebuah buku yang sudah beredar, jika pihak tidak dikenal itu tidak punya kekuasaan untuk memerintah sesuai dengan kehendaknya?
kita tidak ingin berandai-andai siapa yang memerintahkan penarikan buku itu, kita tunggu saja dalam beberapa hari pasti sudah akan ada kabar tentang siapa pihak yang memerintahkan penarikan itu.
yang jadi perhatian kita adalah, mengapa harus ada penarikan sebuah buku yang sudah beredar? bukankah dalam alam demokrasi ini, siapapun punya hak untuk menyampaikan gagasan, ide, pikirannya lewat berbagai hal, buku, internet, bahkan lewat aksi unjuk rasa dan lain sebagainya yang dilindungi dengan undang-undang.
kalaupun kemudian apa yang disampaikan dengan gagasan atau ide itu ternyata melaanggar hukum, bukankah ada penegak hukum yang bisa menindaknya?
tapi kalau kemudian cara-cara pelarangan dan penarikan yang dilakukan, menunjukkan bahwa demokrasi yang kita gembar-gemborkan selama ini adalah omong kosong belaka, ketika ternyata kita tidak siap dengan perbedaan pendapat, dengan kritik, dengan perbedaan yang mamang niscaya terjadi di alam demokrasi, bukankah ketika kita tidak setuju dengan pendapat orang lain, dalam alam demokrasi maka kita bisa mendebat pendapat yang tidak kita sepakati itu dengan cara yang serupa, kalau kita tidak sepakat dengan sebuah buku, kita juga bisa membantahnya dengan menerbitkan buku pula?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H