Mohon tunggu...
A Zainudin
A Zainudin Mohon Tunggu... Lainnya - Penyuka Sastra

Menulis sesuai kata hati.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Dua Ribu Tahun (Sebuah Prosa Liris)

26 Oktober 2020   11:08 Diperbarui: 29 Oktober 2020   16:36 253
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Dua Ribu Tahun. Sumber:liputan6.com

Ingatkah kau bahwa dua ribu tahun lalu kita telah mengikat janji? Kau berjanji akan kembali dan aku berjanji menunggumu di sini.  Kau tak akan ke mana-mana sebelum kembali, dan aku tak akan bergeser walaupun satu inci. 

Waktu itu dunia masih menjadi milik kita, baik siang atau pun malam, baik gelap atau pun terang.  Kau, sebagai anggota pasukan bangsa kita yang telah ditaklukkan manusia, telah membuat janji setia kepada penakluk itu untuk tunduk selalu pada perintahnya.   

Saat cinta kita sedan ranum-ranumnya, saat bunga di hati kita sedang mekar-mekarnya, tiba-tiba aku harus merelakan kepergianmu ke suatu tempat yang bahkan kita belum mampu membayangkannya. 

Kau menghiburku dengan nada-nada cinta, ungkapan kepahlawanan bangsa kita, dan kehormatan kesatria.  Nafasku yang memburu menurun seketika, menundukkan diri pada kewajibanku mengikuti apa yang kau titahkan. 

Kubiarkan bayangan sepi ke depan, rindu yang kelak menyiksaku, serta sepi yang kian mengakrabiku.  Aku meletakkan kepercayaan pada kesetiaanmu, cinta yang selama ini kauukir lewat semua sikapmu dan semua harapan indah yang akan kita reguk bersama.

Pada akhirnya aku kehilanganmu.  Kehilangan warna hidup yang terbiasa kaukuaskan di lembaran riwayatku.  Tapi mengingat janjimu, aku bergeming tak bergerak dari tempat kita mengukirnya.  

Kutepati sumpahku, kutunggu bukti janjimu.  Kubiarkan aneka warna kehidupan melalui alur nasibku, kutakpedulikan kehilangan-kehilangan yang mulai menderaku.

Kalau akhirnya kumunculkan tangis, dan suara-suara yang makin menggema, itu adalah suara rinduku.  Rindu yang semakin lama semakin menggumpal menjadi dendam, dan membeku menjadi pilu.  Tangis yang semakin lama mengganggu setiap makhluk di sekitarku, dan mereka mengira aku sengaja mengusik mereka.

Tahukah kamu, dua ribu tahun adalah waktu yang kian lama menyiksaku dan akhirnya mengganggu hubungan dengan sekitarku, terutama bangsa penakluk kita? Aku membenci setiap cinta yang dipertontonkan di hadapanku, kasih yang dipamerkan di depan mataku, dan aku tidak dapat diam kecuali membuat mereka pergi dariku.  Mereka akhirnya menandai tempat ini, tempat dipadu janji kita: sebuah batu raksasa tua yang justru indah untuk memadu cinta.

Masalahnya, aku tidak suka.  Setiap janji yang mereka ukirkan, cinta yang mereka hembuskan, kasih yang mereka ungkapkan adalah seperti jarum-jarum tajam yang mencabik seluruh ulu hatiku karena pada saat itu aku begitu tersiksa mengingatmu. Ingat cintamu sekaligus dusta yang pelan-pelan kubangun untuk menggambarkan sosokmu.

Maka bara rinduku menjadi kebencian pada setiap cinta yang mereka pertunjukkan.  Tak kubiarkan mereka tak tersiksa sampai mereka tak mampu lagi mengungkapkan cinta.  

Kau tahu? Akhirnya mereka menandai tempat suci ini- suci bagiku karena kupakai menyucikan cintaku, sebagai tempat yang membenci cinta.  Tempat yang terlarang manusia memadu cinta.  Aku tertawa sementara.

Tapi manusia bukan bangsa taklukan.  Mereka, seperti dua ribu tahun lalu, selalu bermaksud menundukkan. Jika mereka terganggu, justru itu sebagai sarana mereka untuk menaklukkan kita,  persis seperti waktu itu.

Suara-suara yang kubuat sedemikian rupa agar mereka lari, mulai mereka sikapi dengan membentengi diri. Entahlah, aku tidak tahu.  Tapi tiba-tiba saja mereka membuat tempat ini begitu panas seperti api.  Suaraku dibalas bacaan-bacaan aneh mereka yang membuatku lemah lunglai.  Tempat ini seperti ajang pertempuran baru.  

Sayangnya, makin lama semangatku semakin layu.  Semakin lemah kekuatanku, semakin habis tenagaku.  Aku lunglai, dan mereka mengikatku dan bacaan-bacaan yang kian melolosi bayuku.

Kekasih. Apa yang harus aku lakukan? Aku semakin tak punya kekuatan.  Mereka semakin perkasa, dan aku kian tak berdaya.  Seperti dua ribu tahun lalu, aku harus mengikuti jejakmu.  Menjadi taklukan mereka, aku harus berjanji setia.

Tapi mereka bukan penaklukmu yang dulu, mengikatmu dengan janji menjadi prajurit setia.  Mereka menaklukanku dengan memberikan ancaman baru: aku harus pergi dari tempat itu.  Kau harus tahu, itu adalah siksaan yang paling mengerikan bagiku.  Karena dengan meninggalkan tempat itu, aku harus kehilangan memori untuk mengenangmu. Tak punya kesempatan menunggumu, dan yang paling menyakitkan, aku tak mau kau menganggapku mengkhianatimu karena kelak jika kau menemuiku di tempat ini, kau tak akan menemukanku.

Jadi maafkan aku.  Meski benci sudah mengambil alih tempat rindu di hatiku, aku masih menyisakan kesetiaan di sana.  Meskipun akhirnya aku harus menyerah. Aku tak bisa lagi menunggumu di tempat ini.  Karena terusir, aku harus mengusir rinduku sekaligus mengucapkan kalimat perpisahan denganmu. 

Aku hanya berharap, semoga kita tetap bisa ketemu.  Mungkin setelah era kehidupan saat ini berlalu.  Di kehidupan yang baru.

Tangerang Selatan, 26 Oktober 2020

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun