Pada awal kelahiranku, aku melahirkan dengan jarak yang cukup jauh. Â Kadang-kadang sebulan sekali, bahkan lebih. Â Hanya pada saat momen-momen tertentu, aku bisa melahirkan dengan lebih sering.
Pada saat ulang tahun hadirnya rumah tempat kelahiran anakku atau pada saat ulang tahun negeri ini aku mampu melahirkan tiap hari selama seminggu atau dua minggu. Meskipun demikian, anak-anakku tetaplah anak anak yang berkualitas 2).
Bahkan, dalam beberapa kontes tingkat internasional, anak-anakku seringkali menyabet juara. Di antaranya adalah kisah tentang bayi yang disandera klinik tempat ibunya melahirkan karena tidak mampu membayar biaya persalinannya Juga kisah perempuan bisu yang dikhianati suaminya yang akhirnya menjadi terbaik di negeri ini 3). Betapa bangganya aku dan juga orang-orang yang terlibat dalam proses kelahiran mereka.  Aku  semakin bersemangat untuk terus melahirkan dengan jumlah yang makin banyak.
Setelah itu, mulailah masa-masa puncak kesuburanku. Â Apalagi sejak munculnya rumah-rumah lain yang menjadi tempat kelahiran anak-anakku. Â Dengan dana melimpah, mereka menyediakan fasilitas melimpah agar aku semakin sering melahirkan. Â Tak masalah dengan gizi. Â Fisik anak-anakku tetap segar, malah makin gemuk dan lincah. Â Aku juga sudah mampu memberikan anak-anakku baju baju baru yang indah dan dengan warna menarik.
Hari demi hari saat aku makin sering melahirkan anak-anakku. Â Tak henti-hentinya aku melahirkan anak-anakku, beratus-ratus tiap tahunnya. Mulai yang tunggal hingga kembar tiga, kembar tujuh, bahkan kembar ratusan. Â Bahkan beberapa tahun yang lalu, aku sempat melahirkan kembar seribu dengan beberapa periode kelahiran.
Sayangnya, aku mulai merasa ada yang kurang dari anak-anakku. Â Memang,mereka terlihat sehat dan gemuk. Â Baju mereka bagus, tingkah mereka lincah. Â Namun ada yang aneh. Â Anak-anakku semakin terlihat mirip satu sama yang lain. Â Matanya, hidungnya, mulutnya, bahkan kakinya. Â Cara berjalan, melihat, memegang, merasakan juga mencium. Â Dan yang terakhir adalah cara bercerita. Seragam persis.
Anak-anakku seperti barisan pemimpi yang bercerita mimpi-mimpi. Â Sama sekali tak indah karena saking terlalu seragamnya. Â Cerita-cerita yang disampaikan anak-anakku begitu membosankan, dan tak bisa memberikan kebaikan kepada penduduk negeri ini. Â Cara berceritanya juga terlalu kasar dan bertele-tele. Akhirnya pesannya tertutupi oleh cara berceritanya serta kemasan yang kami gunakan.Â
Bahkan akhirnya, Â cerita mereka membuat anak-anak negeri ini menjadi pemalas dan pemimpi. Antara satu orang dengan yang lain, satu kampung dengan yang lain bahkan antara satu daerah dengan yang lain menjadi saling membenci dan berkelahi. Â Anak-anak menjadi berani kepada orang tuanya. Â Bapak memperkosa anak. Anak memaki Ibu. Bahkan, mata anak-anak yang indah pun menjadi makin menyeramkan karena selalu melotot ke sana sini. Â Mungkin ini karena diajari anak-anakku yang memperlihatkan mata yang besar dan menyeramkan saat marah untuk menunjukkan sifat-sifat orang yang jahat.
Setan dan hantu bergentayangan melalui cerita kami. Awalnya cukup menyeramkan dan harus mendapatkan pujian. Â Tapi lama-lama menjadi aneh. Cerita menjadi tak wajar dan terlihat dipaksakan. Â Cerita lucu juga begitu. Â Dari dialog cerdas akhirnya berubah menjadi makian-makian tak pantas. Â Kata-kata seputar kebun binatang dan kamar belakang menjadi hidangan sehari-hari. Â Saling cela dan pukulan kasar agar terlihat lucu tak jarang membuat penduduk negeri ini menjadi jengah. Â Beberapa orang yang terlibat kelahiran anakku yang bersikap seperti itu akhirnya seringkali harus berurusan dengan pihak keamananan negeri ini.
Penduduk yang semula merindukan kami dan selalu menunggu-nunggu kehadiran anak-anak kami mulai bosan dan muak.