Tiga orang di depanku terlihat perlente dan keren. Â Nandi yang tinggi besar terlihat macho dengan baju dan celana ngepasnya. Â Yandi meski hanya berkaos kerah, Â namun dari bahannya aku tahu harganya mahal. Â Begitu juga baju kasualnya Barga. Â Sangat pas di tubuh suburnya. Â Kalau ada yang sangat jauh berbeda dengan mereka ya aku ini.
Aku hanya menggunakan celana lama butut serta kaos dekil dan lusuh. Tidak wangi lagi. Beda jauh dengan mereka yang dari jauh sudah tercium aroma kesegaran tubuhnya.
Tapi di tempat seperti ini justru akulah yang sangat menikmati. Â Lihatlah mereka bertiga. Â Mereka terlihat kikuk duduk mencangklong, sedangkan aku bahkan duduk langsung di atas tanah.
Kusapu pemandangan indah di depanku.  Bagi orang kota,  hamparan tanaman cabe  berwarna hijau berpadu dengam warnah merah buahnya mampu mengurangi tingkat kestresan mereka.  Pengaturan komposisi tanamannya seolah terlihat seperti lukisan besar dengan paduan warna yang harmoni.  Aku saja  yang tiap hari menyaksikannya hampir tak pernah bosan.
"Aku tak bisa ikut bersama kalian. " Itu adalah kalimat pertama yang kuberikan setelah hampir lima menit terdiam menghadapi desakan mereka.
"Jangan bodoh, Aliq. Â Kamu langsung memperoleh posisi tinggi, Â supervisor. Â Akan segera dipromosikan jika dalam satu semester berkinerja baik. Â Kepala cabangku sudah setuju bulat setelah kuceritakan prestasimu, baik yang akademik maupun lainnya." Kali ini Nandi yang mendesakku. Â Kedua temanku yang lain ikut menekanku melalui tatapan mereka.
Aku tersenyum. Â Sia-sia saja mereka membujukku.
"Apa sih enaknya di sini? Â Tiap hari bercampur lumpur dan air kotor! Bukankah rentan penyakit?" Barga ikut menekanku tajam. Tatapannya kuartikan merendahkan.
Aku masih tersenyum. Â Namun kali ini senyumku bercampur kejengkelan.
Cukup sudah kalian merendahkanku dan merasa bangga dengan pilihanmu. Aku mendengus.
"Aku di sini saja. Â Pilihanku tidak berubah meski kalian membujukku terus. Â Jawabanku tetap sama seperti 10 tahun lalu. "
"Kau tidak bisa makan dengan idealismemu, Liq. " Yandi ikut menekanku. Kali ini aku membalas Yandi dengan menatapnya tajam.
"Memang,  aku  tak akan makan idealismeku seperti kalian. "  Nada suaraku tegas.  Mereka terlihat terkejut.
"Tapi aku akan tetap bisa makan, bahkan mampu memberi makan orang lain dengan idealismeku."Â
 Aku memberi isyarat kepada ketiga temanku itu untuk mendekatiku yang saat ini sedang berada di sebuah batu gunung yang terletak di pojok sawah.  Mereka mengikuti arahanku.
Dengan isyarat tangan, kusuruh mereka mendekati batu dan melihat sebuah tanda yang tertera jelas di batu itu.
Sebuah prasasti.
Sederhana saja bentuknya. Empat inisial huruf, A, B, N, Y dan disusul tanda cinta berbentuk hati lalu sebuah kata PETANI.
"Prasasti ini kita buat saat kita mengadakan KKN di desaku ini. Â Kalian ingat?"
Mereka terdiam.Â
"Aku mengingatnya selalu untuk bertahan menjadi petani dan berjuang keras sekuat tenagaku meski godaan untuk mengikuti kalian nyaris membatalkan niatku. Aku bertahan menjadi petani karena sumpah kita dulu untuk memperjuangkan petani dengan ilmu kita."
"Setiap melihat kalian memamerkan kehidupan kalian itu, aku teringat sumpah kita. Dan aku bangga, aku mampu mewujudkan sumpah kita dulu."
Dengan jari telunjukku, kuarahkan pandangan mereka menyapu hamparan sawah dengan tanaman pangan yang sangat menjanjikan ini. Â Dari tempat kami, kami juga melihat petani-petani yang sedang sibuk dengan tanamannya. Â Tak ada nada kesedihan. Yang ada justru kesejahteraan dan kebahagiaan.
Aku tahu persis kondisi mereka, karena mereka semua adalah binaanku. Â Mereka adalah anggota kelompok tani yang berkali-kali meraih predikat terbaik tingkat nasional dengan tingkat kesejahteraan yang tinggi.
Pandangan kami berakhir pada sebuah bangunan serupa saung yang terlihat asri dan sejuk dengan tulisan "SAUNG TANI SUGIHREJO".
"Kalianlah yang seharusnya pulang dan kembali ke sini sesuai janji kita dulu sebagai lulusan fakultas pertanian. Â Bukan membuang sumpah karena silau kehidupan yang jauh dari dunia yang dulu kita perjuangkan"
Mereka tak mampu bicara lagi. Â Entah apa yang mereka pikirkan kali ini.
Tangerang Selatan, revisi final 19 Oktober 2020
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H