Akhirnya aku ketemu juga, bersembunyi jauh di rumah Mbah Kung*) dan Mbah Putri**) dari pihak ibu yang berjarak  puluhan kilometer dari rumahku.  Mereka menyuruhku pulang tapi aku tak mau sebelum keinginanku terpenuhi.  Aku harus sekolah dan laki-laki itu harus membatalkan keinginannya untuk menikahiku.  Aku juga tak mau menggantungkan hubungan dengannya dan membiarkan dia menungguku selesai sekolah.  Hubungan harus putus dan aku sendiri nanti yang memutuskan kapan saatnya menikah dan dengan siapa.
Mau tak mau Bapak dan Simbok setuju. Aku pulang dan simbok tidak pernah lagi bilang tentang pernikahan. Â Mereka takut kehilangan aku karena bagaimana pun aku cucu kesayangan Mbah Kung. Â Tentu mereka takut dimarahi Mbah Kung.
Aku kembali sekolah tanpa ada hambatan lagi. Â Meskipun untuk meneruskan, aku mulai kehilangan teman satu per satu. Â Sampai lulus Sekolah Rakyat, hanya beberapa murid perempuan yang lulus bersamaku. Itu pun tidak semua meneruskan ke jenjang yang lebih tinggi.
Tapi aku tak menyerah. Â Aku bersikeras meneruskan sekolah ke PGA 4 Tahun, mengikuti jejak Yu Kunir. Â Meski aku harus menempuh jarak sekitar 15 kilo meter dengan jalanan yang sepi dan belum rata waktu itu, aku bersemangat menjalani. Â Aku tidak peduli dengan bermacam sebutan tetanggaku karena aku belum menikah sementara nyaris semua teman sebayaku bahkan mantan adik kelasku sudah pada bertemu laki-lakinya di pelaminan.
Pernah aku kesulitan biaya. Â Saat aku memerlukan uang untuk memenuhi biaya sekolahku, saat Bapak belum punya uang karena hasil panen belum ada yang dijual karena belum menjadi beras, aku nekat membawa sekarung besar padi kering dan membawa ke penggilingan padi untuk mengubahnya menjadi beras. Â Lalu aku menuju ke toko beras untuk menjualnya.
Pada akhir tahun ke-4, aku lulus dan meneruskan lagi ke PGA-6tahun di Kota Malang. Â Kali ini Simbok sudah tidak lagi menentangku. Â Apalagi, setelah aku rupanya semakin banyak gadis-gadis yang mengikuti jejakku melanjutkan sekolah. Â Jadi setidaknya, jika aku dianggap perawan telat, masih banyak teman yang lain yang juga telat kawin.
Aku meninggalkan kotaku menuju Malang diantar oleh Bapak Simbokku ke terminal bis.Â
Simbokku bertanya.,"Kau mau jadi apa?"
Guru, kataku. Â Sebab aku ingin membuat orang lain pintar, setidaknya punya cita-cita meskipun ia seorang perempuan.
Simbokku mulai mengagumiku. Dengan mata berkaca-kaca dia mengusap rambutku. Â Aku tahu itu berarti segala rupa doa sudah dipanjatkan untukku.
Aku berangkat ke Malang dengan hati rindu. Â Berjanji secepatnya pulang dengan membawa tanda kelulusan. Â Menjadi seorang guru.