Aku tidak bisa berhenti. Â Siapa pun tidak bisa mencegahku untuk terus berjalan menggapai cita-citaku. Â Hidup tidak lagi dibatasi tembok kanan kiri depan belakang dan berakhir di pelaminan. Â Seperti kata Simbok.
"Perempuan itu dibatasi kasur, dapur, dan sumur. Â Tidak usah banyak keinginan. Â Suatu saat laki-laki akan jadi pelindungmu dan tempatmu mengabdi."
Aku bergeming. Â Bagaimana bisa aku meletakkan cita-citaku sementara aku tahu ada dunia luas di luar sana? Dunia yang bisa membuatku bisa memilih.
"Kita bisa memilih apa pun keinginan kita, Is. Syaratnya cuma satu. Â Jangan berhenti sekolah. Â Karena dengan sekolah, pintu dunia terbuka untuk kita." Kata Yu Kunir terngiang-ngiang di pikiranku. Â Juga buku dan majalah yang sering kupinjam darinya. Â Saat itu aku masih kelas 4 Sekolah Rakyat. Â Semakin banyak yang kubaca, semakin banyak kleinginanku yang ingin kuraih. Â Juga Yu Kunir yang kulihat semakin mengagumkan. Â Senang sekali kalau melihat dia pagi-pagi mengendarai sepeda besar berkerudung dan berkebaya menuju sekolahnya. Â Yu Kunir meneruskan sekolah di PGA-4 tahun (setingkat SMP).
Aku suka sekali melihat sorot matanya yang tajam dan penuh percaya diri. Â Dia tak peduli meskipun untuk bersekolah, dia harus menempuhnya sendiri karena teman-temannya berhenti sekolah, bahkan banyak yang kawin sebelum menyelesaikan sekolah rakyatnya.
Ternyata untuk mengikuti jejak Yu Kunir, aku harus berhadapan dengan tembok penghalang yang dibangun simbokku sendiri. Â Tiba-tiba saja, sore itu seorang laki-laki bertamu ke rumah dan aku dipaksa Simbok menyuguhkan minuman hangat. Â Saat aku ke depan, sepertinya laki-laki itu tidak lepas memperhatikanku hingga aku jengah. Â Segera aku ke belakang dengan wajah masam. Â Aku tanya Simbok, siapa laki-laki itu. Â Simbok menegaskan bahwa dia ingin mengawiniku.
Aku menolak mentah-mentah tentu saja. Â Kubilang kalau aku ingin sekolah, tidak bisa menikah sekarang. Â Simbok tidak terima.
"Umur 12 tahun bagi wanita adalah saatnya berumah tangga. Tidak perlu sekolah, karena menikah itu lebih indah. Â Tak ada gunanya sekolah kalau toh nanti akan kautinggalkan demi suamimu." Kata Simbok mulai berpidato. Â Aku diam, tidak menyahut. Tapi jelas, nasehat itu tidak bisa kuterima.
Kutanyakan bapak. Â Kubilang aku ingin terus sekolah dan tak mau menikah dulu. Â Bapak bilang laki-laki itu sudah dijodohkan denganku dan keluarga kedua belah pihak setuju.
"Tapi aku tidak setuju, Pak"protesku. Â Bapak diam. Â Sementara ibuku terus membujukku dan memarahiku. Â Sepertinya tak ada yang mendukungku. Aku tidak terima, sepertinya aku harus ada usaha.
Besoknya kampungku geger karena Bapak dan Simbokku mengabarkan kepergianku. Â Aku lenyap. Â Simbok menangis, bapak ke sana kemari mencari keberadaanku.