Mohon tunggu...
A Zainudin
A Zainudin Mohon Tunggu... Lainnya - Penyuka Sastra

Menulis sesuai kata hati.

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Menengok Mantan, Menubruk Kenangan

18 Juli 2020   17:36 Diperbarui: 3 November 2020   12:01 222
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Secangkir Kopi: ilustrasi. Sumber: samleinad.com

 PUISI 1: MENENGOK MANTAN CALON

Ijinkan aku menjengukmu
Lewat celah memori kecilku
Meski aku tahu
Takdir tetap lebih indah dibanding jikalau

Kau sendiri yang datang menawarkan kehangatan
Lewat ucapan cerdasmu yang membangun kekagumanku
Lewat perhatian kecilmu yang menumbuhkan rasa sayangku
Lewat cerita mirismu, tentang dia, yang menggeliatkan empatiku

Tidak salah bukan jika  akhirnya kutumbuhkan kuncup-kuncup sayang
Kutumpahkan segala rasa yang selama ini terpendam
Di malam ulang tahun tiga windu sekolah kita
Aku bagaikan raja yang mengantarkan ratunya
Saat kujemput kau, di depan ibumu
Dengan motor bututku, yang dengan pe-de kuaku kereta kencana
Lalu senyum manismu saat mulai duduk di belakangku
Aku seperti putera mahkota yang mendapat singgasananya
Seluruh mata untuk melihatmu
Seluruh telinga untuk mendengarmu
Seluruh hati untuk memperhatikanmu
Meski tanpa sadar, seperti wanita pengagum Yusuf yang mengiris tangannya sendiri
Aku telah membuat luka pada sebongkah hati
Wanita sekelasku, yang diam-diam memperhatikanku

Tapi rupanya bulan madu itu hanya semalam
Manisnya hilang sekejap ditelan kelam

Berawal dari surat yang kutulis dengan sepenuh puisi
Aku mengharapkan bunga-bunga mimpiku menjadi
Buah cinta yang kau petikkan sendiri
Lewat balasan suratmu
Yang saat itu malu-malu kau berikan padaku

Kubuka sampul dengan menyiapkan wadah tempat kuletakkan bahagia
Kubaca jawabanmu seperti menanti titah baginda

Aih...., rupanya pisau beracun kau cacahkan dengan tega
Saat itu juga
Melalui sepenggal syair lagu Vety Vera
Kau berkata: "Kalau jodoh tak kan kemana"
Hanya itu, tak ada alasan lainnya
Tapi kelak akhirnya kutahu juga
Dia yang kau ceritakan itu, berhasil meluluhkan hatimu
Membuatmu melantakkan hatiku

Tapi hanya sekejap, karena aku laki-laki
Pantang menyisakan air mata untuk penolakan cinta
Kututup bukumu, kutulis bukuku sendiri

Rupanya kau tak berhenti menggangguku
Aku sudah melupakanmu, kau menggelitiki memori sayangku
Diawali surat tantemu yang memintaku menyuratimu
Aku tak mampu menolak, kutulis surat lagi
Awalnya manis-manis , lama-lama romantis
Nyaris membuatku kembali berpaling padamu

Lalu aku sadar, aku punya tujuan
Aku sayang kamu, tapi dengan perhitungan
Apakah kau mau mendampingiku dengan beberapa syarat yang kuajukan?
Saat itu tak ada lagi main-main hati,
Karena rencana masa depan sudah kususun rapi

Rupanya Dia menunjukkan kasih sayang-Nya kali ini
Aku belum mampu, itu katamu
Baiklah, aku mengiyakan
Dan setelah itu tak pernah ada berita yang kubagikan

Maafkan aku menengokmu lagi, lewat jendela memori yang menganga
Setelah semua teman-teman medsos ini, memanggil para mantannya
Lewat kenangan mereka

Kuharap kau bahagia
Menyisakan doa kebaikan untukku,  mantan calon tersisa
Seperti yang kupanjatkan untukmu juga

Jakarta, November 2017-Juli 2020

PUISI 2 : SECANGKIR KOPI

 

Secangkir kopi hitam kau sajikan dari masa silam
Pahit tegukannya masih menyisakan luka
Meski sudah kauredam dengan manisnya maaf yg kaupinta

Secangkir kopi tanpa ampas kau sodorkan begitu saja
Aku menggeber nikmat yg kau tawarkan,  manis yang menggairahkan
Meski akhirnya kusadari,  nikmatmu terlalu cepat kuakhiri

Secangkir kopi mochacino kau persembahkan
Sebagai upaya pungkasmu menundukkan rasaku
Awalnya aku begitu terpaku,
Tapi cepat kusadari
Wanginya tak mampu menghapuskan rinduku
Pada keaslianmu

Ingin aku kembali ke masa lalu
Minum kopi sambil menubruk kenanganmu

 Jakarta,   November 2017- Juli 2020

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun