Mohon tunggu...
Arif Uopdana
Arif Uopdana Mohon Tunggu... Lainnya - uopdana 1993

Fakir ilmu

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

Kapitalisme dan Lingkungan (Boven Digoel)

5 Juni 2020   22:58 Diperbarui: 6 Juni 2020   22:19 554
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Kapitalisme dan lingkungan di Boven Digoel_Geckoproject

Dalam pengertian yang paling singkat, kapitalisme adalah suatu sistem sosial dan ekonomi di mana para pemilik kapital (atau kapitalis) mengambil surplus produk yang dihasilkan oleh produsen langsung (atau buruh), yang membuahkan akumulasi kapital.

Kapitalisme sebagai sistem ekonomi mendominasi hampir semua sudut dunia. Bagi sebagian besar kita, kapitalisme begitu menjadi bagian dari kehidupan kita sampai-sampai ia tak lagi kasat mata, layaknya udara yang kita hirup. 

Kita tidak menyadarinya, Etos, pandangan, dan nilai-nilai internal kapitalismelah yang kita serap dan biasakan seiring kita tumbuh bersamanya. Tanpa disadari, kita belajar bahwa kerakusan, eksploitasi atas seumber daya alam berlebih bukan hanya untuk memenuhi kebutuhan hidup semata melainkan untuk mendapatkan akumulasi kapital.

Sistem kapitalisme selalu mendambakan pertumbuhan ekonomi, seolah pertumbuhan ekonomi adalah dewa atau obat yang mujarab untuk mengobati kemiskinan dan memberantas pengangguran.

Nyatanya, sistem ini banyak menimbulkan kerusakan lingkungan, penderitaan, eksploitasi buruh, dan kesenjangan yang semakin tinggi antara si kaya dan  si miskin yg semakin jauh. 

Tuntutan akumulasi kapital harus dibarengi dengan tuntutan kebutuhan akan sumber bahan mentah untuk produksi yg semakin tinggi. Bukan hanya untuk memenuhi kebutuhan semata, melainkan untuk menciptakan laba. Dorongan untuk terus meningkatkan pertumbuhan ekonomi mengakibatkan eksploitasi manusia dan lingkungan yang masif.

Seiring pertumbuhan jumlah manusia dan produksi industri yang semakin tinggi, kebutuhan akan energi bahan bakar fosil (Minyak, Gas, Batubara) semakin meningkat. 

Bahan bahan bakar fosil merupakan sumber daya alam tak terbarukan yang suatu saat akan habis. Sehingga dibutuhkan energi yg bersumber dari sumber daya yg dapat diperbarui untuk menunjang kebutuhan energi manusia yaitu Bahan bakar Nabati (Biofuel).

Menurut data U.S Energy Information Administration, konsumsi energi dunia saat ini sebesar 33% masih bergantung pada minyak bumi, 22% dari gas alam, 27% dari batu bara, dan 13% dari energi lain. Dari jumlah tersebut, diketahui bahwa 82% kebutuhan energi manusia diperoleh dari energi fosil.

Saat ini, perusahaan-perusahaan multinasional menjelajahi dunia mencari sumber daya dan kesempatan, mengeksploitasi buruh, memanfaatkan longgarnya aturan lingkungan hidup, dan mengandalkan manfaat keringanan pajak di Negara miskin. 

Semua ini memperkuat, alih-alih mengurangi, kesenjangan kemakmuran antara negara kaya dan miskin. Hasilnya adalah eksploitasi global yang lebih rakus atas alam dan naiknya kesenjangan kekuasaan dan kemakmuran. Korporasi global tidak punya kesetiaan pada apapun selain kepada bottom line mereka, yakni keuntungan ekonomi. 

Salah satu dampak dari globalisasi kapital mutakhir dan kekhawatiran kelangkaan pangan di tingkat global adalah pencaplokan tanah (land grab) secara masif. Modal swasta dan dana pemerintah berusaha menguasai lahan luas untuk menghasilkan tanaman pangan dan persediaan biofuel bagi pasar.

Boven Digoel-geckoproject 
Boven Digoel-geckoproject 

Boven Digoel merupakan salah satu kabupaten terluas di provinsi Papua, yang memiliki luas wilayah 27.108 km persegi (sumber : Wikepedia), dengan mayoritas wilayahnya adalah hutan primer/hutan alam. Menjadi target investor perkebunan sawit untuk menanamkan modalnya. 

Di sana 14 perusahaan perkebunan sudah mendapatkan izin Pelepasan Kawasan Hutan dengan luas total 417.251 hektar, saat ini sebagian besar masih tertutup hutan. 

Sampai akhir Desember 2018 hanya sekitar 30,254 hektar dari jumlah total tersebut yang sudah dibuka dan ditanami kelapa sawit – sisanya masih hutan alami.

Hutan Boven Digoel-geckoproject
Hutan Boven Digoel-geckoproject

Deforestasi-Boven Digoel-geckoproject 
Deforestasi-Boven Digoel-geckoproject 

Jika melihat laporan investigasi yang dilakukan The Gecko Project, bekerja sama dengan Mongabay, Tempo, dan Malaysiakini. 

Terlihat beberapa perusahaan-perusahaan kelapa sawit yang mendapatkan izin konsesi dengan  tidak transparan, mulai perusahaan yang hanya didirikan 8 hari pada bulan Februari tahun 2007, alamat perusahaan yang palsu, bahkan dua orang pemilik saham pun ternyata palsu, dan tidak adanya presentasi dan penilaian AMDAL guna memperoleh izin lingkungan. 

Para pemilik saham perusahaan-perusahaan yang memperoleh izin konsesi di Boven Digoel pun tidak diketahui. Proyek di Boven Digoel pun diselimuti baying-bayang kelam.  

Alih-alih meningkatkan kesejahteraan dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi kabupaten, masuknya perkebunan sawit di Boven Digoel nyatanya tak merubah masyarakat setempat menjadi lebih baik, justru deforestasi menghilangkan lahan yang menjadi tempat berburu untuk mendapatkan makanan dan minuman. 

Dalam prespektif masyarakat setempat (lokal) hutan adalah mamah yang memberikan mereka kehidupan. Dengan hilangnya hutan bukan hanya menghilangkan lahan untuk mendapatkan sumber makanan dan minuman namun banyak yang hilang. 

Seperti, kerukunan, persaudaraan diantara masyarakat sudah mulai hilang. Kehidupan yang dulu harmonis sekarang sudah sering terjadi pertikaian diantara keluarga sendiri dan diantara masyarakat.

Dalam banyak kasus, korporasi hanya melihat tanah dan segenap kekayaannya dalam perspektif ekonomi-bisnis (nilai komoditi). 

Sementara itu, tanah bagi sejumlah masyarakat adat Nusantara, memandang tanah dalam perspektif kultural sebagai ibu yang memberi makan kepada mereka. Ibu tanah ini harus dirawat dan dipelihara, bukannya dijual untuk dialih fungsikan.

Perbedaan perspektif antara perusahaan dengan masyarakat adat sering kali menimbulkan konflik. Dalam berbagai kasus konflik lahan di Indonesia sering sekali masyarakat pemilik hak Ulayat dalam posisi yang lemah. Korporasi dengan modal yang besar sering bermain dengan pejabat yang memiliki kewenangan di daerah maupun di pusat. Tak jarang pejabat berharap banyak kepada parah investor untuk kepentingan pribadi maupun kepentingan daerah. Para pejabat berharap dengan masuknya investor kedaerah mereka maka akan menciptakan pertumbuhan ekonomi, membuka lapangan pekerjaan, mengentaskan kemiskinan, memberi beasiswa dan bantuan sarana-prasarana pendidikan, kesehatan, dan membantu membangun infrastruktur di daerah. 

Nyatanya diberbagai daerah para Investor hanya manis di depan saja. Perusahaan-perusahaan tetap mengutamakan keuntungan kapital yang sebesar-besarnya, karena keuntungan kapital adalah tujuan utama setiap perusahaan. Apa yang diberikan perusahaan kepada daerah dan masyarakat pemilik hak Ulayat tak sebanding dengan keuntungan yang mereka dapat dari eksploitasi alam.

Masyarakat setempat yang sebelumnya hanya hidup mengandalkan alam harus dipaksa untuk merubah cara mereka bertahan hidup yaitu dengan menjadi buruh perkebunan, tak jarang masyarakat mengalami "shock culture". 

Ancaman hilangnya flora dan fauna endemik dan ancaman negatif lainnya akibat eksploitasi alam harus masyarakat terima dengan dalih untuk kesejahteraan dan mengejar pertumbuhan ekonomi. 

Kekayaan sumber daya alam sebagi anugerah Tuhan yang seharusnya dapat dimanfaatkan dengan bijak untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat pemilik hak ulayat sering kali berubah menjadi kutukan sumber daya alam. 

Masih ada harapan untuk menyelamatkan hutan dan masyarakat Boven Digoel dari ancaman kapitalis yang ingin menguasai hutan untuk perkebunan sawit. 

Pemerintah provinsi Papua harus bersinergi dengan pemerintah kabupaten Boven Digoel dan masyarakat adat  setempat juga pemerintah pusat untuk menyamakan pandangan betapa pentingnya hutan untuk keberlangsungan hidup  dan mencari solusi akan permasalahan yang terjadi. 

Perusahaan-perusahaan kapitalis dengan segala macam kekuataannya tetap akan mengincar kekayaan alam di Papua, khususnya kabupaten Boven Digoel. Sehingga butuh tekad dan ketegasan serta transparansi dalam pengelolaan dan perlindungan kekayaan alam di Papua.

Refrensi

Fred Magdoff dan Jhon B Foster. 2011. Lingkungan Hidup dan kapitalisme. Terjemaahan oleh Pius Ginting. Tangerang Selatan : CV.Marjin Kiri

geckoproject.id

mongabay.co.id

jubi.co.id

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun