Alih-alih meningkatkan kesejahteraan dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi kabupaten, masuknya perkebunan sawit di Boven Digoel nyatanya tak merubah masyarakat setempat menjadi lebih baik, justru deforestasi menghilangkan lahan yang menjadi tempat berburu untuk mendapatkan makanan dan minuman.Â
Dalam prespektif masyarakat setempat (lokal) hutan adalah mamah yang memberikan mereka kehidupan. Dengan hilangnya hutan bukan hanya menghilangkan lahan untuk mendapatkan sumber makanan dan minuman namun banyak yang hilang.Â
Seperti, kerukunan, persaudaraan diantara masyarakat sudah mulai hilang. Kehidupan yang dulu harmonis sekarang sudah sering terjadi pertikaian diantara keluarga sendiri dan diantara masyarakat.
Dalam banyak kasus, korporasi hanya melihat tanah dan segenap kekayaannya dalam perspektif ekonomi-bisnis (nilai komoditi).Â
Sementara itu, tanah bagi sejumlah masyarakat adat Nusantara, memandang tanah dalam perspektif kultural sebagai ibu yang memberi makan kepada mereka. Ibu tanah ini harus dirawat dan dipelihara, bukannya dijual untuk dialih fungsikan.
Perbedaan perspektif antara perusahaan dengan masyarakat adat sering kali menimbulkan konflik. Dalam berbagai kasus konflik lahan di Indonesia sering sekali masyarakat pemilik hak Ulayat dalam posisi yang lemah. Korporasi dengan modal yang besar sering bermain dengan pejabat yang memiliki kewenangan di daerah maupun di pusat. Tak jarang pejabat berharap banyak kepada parah investor untuk kepentingan pribadi maupun kepentingan daerah. Para pejabat berharap dengan masuknya investor kedaerah mereka maka akan menciptakan pertumbuhan ekonomi, membuka lapangan pekerjaan, mengentaskan kemiskinan, memberi beasiswa dan bantuan sarana-prasarana pendidikan, kesehatan, dan membantu membangun infrastruktur di daerah.Â
Nyatanya diberbagai daerah para Investor hanya manis di depan saja. Perusahaan-perusahaan tetap mengutamakan keuntungan kapital yang sebesar-besarnya, karena keuntungan kapital adalah tujuan utama setiap perusahaan. Apa yang diberikan perusahaan kepada daerah dan masyarakat pemilik hak Ulayat tak sebanding dengan keuntungan yang mereka dapat dari eksploitasi alam.
Masyarakat setempat yang sebelumnya hanya hidup mengandalkan alam harus dipaksa untuk merubah cara mereka bertahan hidup yaitu dengan menjadi buruh perkebunan, tak jarang masyarakat mengalami "shock culture".Â
Ancaman hilangnya flora dan fauna endemik dan ancaman negatif lainnya akibat eksploitasi alam harus masyarakat terima dengan dalih untuk kesejahteraan dan mengejar pertumbuhan ekonomi.Â
Kekayaan sumber daya alam sebagi anugerah Tuhan yang seharusnya dapat dimanfaatkan dengan bijak untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat pemilik hak ulayat sering kali berubah menjadi kutukan sumber daya alam.Â
Masih ada harapan untuk menyelamatkan hutan dan masyarakat Boven Digoel dari ancaman kapitalis yang ingin menguasai hutan untuk perkebunan sawit.Â